BERITA TERKINIPOLKUMHAM

Halim Kalla dan Mantan Dirut PLN Tersangka Kasus Korupsi PLTU

×

Halim Kalla dan Mantan Dirut PLN Tersangka Kasus Korupsi PLTU

Sebarkan artikel ini
Halim Kalla dan Mantan Dirut PLN Tersangka Kasus Korupsi PLTU 1 di Kalimantan Barat oleh Kortas Tipikor Polri
Halim Kalla (kiri) dan Fahmi Mochtar (Foto: ist)

MAKASSARCHANNEL, JAKARTA – Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri menetapkan Halim Kalla dan mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar tersangka kasus korupsi PLTU 1 Kalimantan Barat 2008-2018.

Halim Kalla, adik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah Presiden Direktur PT BRN sedangkan Fahmi Mochtar Direktur Utama PLN periode 2008-2009.

Selain Halim Kalla dan Fahmi Mochtar, ada dua tersangka lain dalam kasus ini. Total kerugian keuangan negara dengan kurs saat ini bernilai Rp 1,35 triliun.

“Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” papar Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo, dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (6/10).

Menurut Cahyono total ada empat tersangka dalam proses gelar perkara, pada Jumat (3/10) pekan lalu.

Sementara Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri Brigjen Totok Suharyanto menjelaskan dalam kasus proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar ini terdapat penyalahgunaan wewenang. Proyek tersebut kemudian mangkrak sejak 2016.

Menurut Totok, ada perpanjangan waktu melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai dengan 2018. Namun, proyek PLTU itu tidak berhasil selesai.

Proses Lelang

Totok menjelaskan, kasus ini bermula ketika PLN menggelar lelang pembangunan PLTU dengan sumber pembiayaan kredit komersial.

“Akan tetapi sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN. Tujuannya memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar,” jelas Totok.

Dalam pelaksanaan lelang, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan Kerja Sama Operasional (KSO) BRN, Alton dan OJSC. Padahal tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.

Penyidik juga menemukan indikasi bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO PT BRN.

Pengalihan Pekerjaan

Pada 2009, KSO BRN mengalihkan pekerjaannya kepada PT PI tepat sebelum melaksanakan tanda tangan kontrak.

“Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN,” tuturnya.

“Pada saat tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, PLN belum mendapat pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan,” kata Totok.

Hingga batas akhir kontrak 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT PI baru mengerjakan total 57 persen proyek.

Setelah amandemen kontrak hingga 31 Desember 2018, ternyata proyek baru mencapai 85,56 persen.

KSO BRN dan PT PI beralasan proyek itu tidak bisa selesai dengan dalih keuangan yang tidak mencukupi.

Dalam penyelidikan, kata Totok, penyidik menemukan ada aliran
transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek kepada para tersangka.

“Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323,19 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62,4 juta untuk pekerjaan Mechanical Electrical,” tuturnya.

Pembangunan PLTU 1 Kalbar belum selesai. Proyek ini terbengkalai, sebagian peralatan rusak dan berkarat. ***

Tinggalkan Balasan