BERANI Jujur Hebat! Bedah buku antologi puisi antikorupsi berjudul SaaT BERJuMPA Di KerTaS (Sabar Taat Berani Jujur Mandiri Peduli Adil Disiplin Kerjakeras Tanggungjawab Sederhana) berlangsung dinamis.
Bedah buku yang digelar oleh Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) itu, menampilkan pembincang; kritikus sastra Andi Mahrus, cerpenis Muhammad Amir Jaya, dan sastrawan Yudhistira Sukatanya.
Perbincangan yang berlangsung di Kafe Baca Jl Adhyaksa, Panakkukang, Makassar, Sabtu (12/11/2022) itu, dimoderatori cerpenis Anwar Nasyaruddin. Hadir kurator buku ini, Andi Ruhban, yang kerap menggunakan nama La Ruhe dalam postingannya di media sosial.
Judul catatan ini respons terhadap klaim Andi Ruhban yang menyebut, “Ada sastra di penangkapan gubernur.”
Entah gubernur daerah mana yang dimaksud, karena tak sedikit gubernur yang dipaksa mengenakan rompi orange setelah ketahuan melakukan perbuatan tercela yang sudah menjadi musuh bersama masyarakat, korupsi.
Tonton Videonya : https://youtu.be/PGeb9UbCPZQ
Dimensi korupsi dalam persepsi Andi Ruhban sangat luas. Dia menyebut sampah yang berserakan di jalan pun, tak lepas dari perilaku korupsi, banjir yang melanda perkampungan akibat gundulnya hutan juga akibat perilaku korupsi.
Nyaris semua yang menyengsarakan rakyat biangnya adalah perilaku koruptif. Kebiasaan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan itu dilakukan secara sadar. Bahkan paham jika perbuatannya itu salah.
Klaim Andi Ruhban itu dikoreksi oleh seniman Yudhistira Sukatanya yang mengatakan, “Apa benar penangkapan gubenur itu ada sastra di dalamnya. Ini bisa benar, bisa tidak.”
Yudhistira mengatakan, masih perlu ditelaah lebih jauh untuk membenarkan klaim itu. Bahkan Yudhistira membuat catatan berjudul, “Puisi antikorupsi bisa apa?”
Kritikus sastra kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, Andi Mahrus, mengatakan, “Puisi itu adalah kejujuran.”
Dari sudut kualitas penciptaan, menurut Andi Mahrus, puisi dalam buku Saat Berjumpa Di Kertas tersebut memiliki derajat kreativitas yang layak dipertimbangkan.
Kritikus sastra yang juga mubalig ini, membagi tiga sifat 89 puisi karya 47 penulis dalam antologi puisi antikorupsi tersebut, yakni puisi diafan, gelap, dan puisi prismatis.
Puisi diafan menurut Andi Mahrus memiliki ciri bahasa yang polos, kurang memanfaatkan majas (figurative language) dan sangat mudah dipahami artinya. Contoh jenis puisi ini, Mari Berjanji karya Andi Anton Himawan di halaman 20.
Tentang puisi gelap Andi Mahrus mengatakan, biasa juga disebut puisi kamar yang terkesan berlebihan dalam penggunaan bahasa figurative. Sifatnya simbolistik dan amat pribadi. Puisi jenis ini hanya Tuhan dan penciptanya saja yang tahu maknanya.
Contoh puisi dalam buku ini adalah Anak Kandung Matahari karya Andi Wanua Tangke dimuat di halaman 25 dan Puisimu Korupsi karya Bahar Merdu di halaman 29.
Sedangkan jenis prismatic, menurut Andi Mahrus banyak ditulis oleh penyair yang memiliki bahasa sendiri. Cirinya, kaya dengan bahasa figuratif. Pemilihan diksi, pengimajinasian dan penggunaan kata konkret terpelihara cukup baik.
Puisi jenis ini antara lain, Satu Kata: Lawan! karya Muhammad Amir Jaya di halaman 80 dan Mati Bagi Kamu karya Suradi Yasil di halaman 99.
Korupsi dengan segala dimensinya sudah lama menjadi musuh bersama. Namun belum tertangani tuntas. Pejabat yang ditangkap pun nyaris dari semua level. Ada menteri, gubenur, bupati/ wali kota, camat, dan kepala desa.
Bahkan yang tak kalah mirisnya ada pimpinan pergurun tinggi yang ikut dicokok karena memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Wilayah yang seharusnya menjadi benteng terakhir menjaga moralitas.
So … klaim Andi Ruhban dan pertanyaan Yudhistira Sukatanya butuh waktu untuk membuktikannya. ***
*) Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi media online MAKASSARCHANNEL.COM