Oleh :
Sri Gusty (Akademisi)
Di tengah arus deras digitalisasi, kita termasuk yang ikut hanyut bersama pena yang dulu sering dalam genggaman. Keterampilan menulis tangan perlahan-lahan terpinggirkan.
Dunia yang serba cepat telah mengalihkan perhatian manusia dari tinta dan kertas ke layar digital yang memikat. Namun kita tetap perlu bertanya, apakah kepraktisan teknologi layak menggantikan warisan budaya dan proses kognitif yang telah diwariskan selama ribuan tahun?
Mungkin kita lupa bahwa, tulisan tangan bukan hanya metode komunikasi, tetapi juga bentuk ekspresi, pembelajaran, dan pengarsipan sejarah yang otentik.
Menulis secara manual merupakan produk budaya yang menyimpan identitas individu. Dari manuskrip kuno hingga catatan harian pribadi, tulisan tangan membekas sebagai simbol keaslian dan kedalaman emosi manusia.
Sayangnya, survei yang dikabarkan oleh beberapa hasil penelitian mengindikasikan penurunan keterampilan ini, terutama di kalangan generasi muda.
Audrey van der Meer pernah mempublikasikan penelitian yang mengungkapkan bahwa otak anak dan orang dewasa lebih aktif saat menulis dengan tangan dibandingkan saat mengetik.
Sebuah studi lain, tahun 2017, dari Indiana University juga menunjukkan bahwa menulis dengan tangan dapat menghubungkan keterampilan visual dan motorik, yang mungkin membantu anak-anak mengenali huruf dengan lebih baik (dikutip dari asumsi.co).
Hal ini disebabkan karena menulis tangan mengharuskan otak untuk secara aktif menyaring dan memproses informasi, bukan sekadar mereproduksi secara verbatim.
Aktivitas ini melibatkan area otak seperti korteks prefrontal dan cerebellum, yang bertanggung jawab atas perencanaan, perhatian, dan koordinasi motorik.
Indonesia pun tak luput dari kondisi serupa. Survei oleh Kemendikbudristek (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 65 persen pelajar sekolah dasar dan menengah pertama lebih sering menggunakan gawai untuk mengerjakan tugas daripada menulis di buku tulis. Di sisi lain, kualitas tulisan tangan di kalangan pelajar menurun dari segi kerapian dan struktur.
Turn Back Pendidikan
Dalam budaya Indonesia sendiri, menulis tangan memiliki akar kuat dalam bentuk aksara daerah seperti Aksara Jawa, Lontara, dan Pegon, yang diwariskan lintas generasi sebagai medium ekspresi identitas dan spiritualitas. Pada aksara-aksara itu tersuratkan sejarah, pengetahuan, kultur, dan peradaban.
Ketika kita kehilangan kebiasaan menulis tangan, sesungguhnya kita sedang melepaskan keterampilan berpikir reflektif dan kontemplatif. Tulisan tangan memaksa kita untuk memperlambat proses berpikir, memfilter informasi, dan merenungi setiap kata yang kita torehkan.
Dalam proses itu, kita tidak hanya menulis, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kognitif dan emosional. Hal ini sangat kontras dengan aktivitas mengetik, yang sering kali menjadi tindakan otomatis dan mekanis.
Beberapa negara telah mulai menyadari pentingnya mengembalikan (turn back) peran tulisan tangan dalam pendidikan. Finlandia, misalnya, sempat menghapus cursive writing dari kurikulum pada 2016.
Namun belakangan kembali mempertimbangkannya setelah riset menunjukkan dampak negatif terhadap kemampuan menulis dan memahami bacaan.
Sementara di Jepang, kaligrafi atau shodo masih diajarkan sebagai bagian dari kurikulum dasar karena dianggap memperkuat konsentrasi dan kedisiplinan. Ini membuktikan bahwa teknologi tidak harus menghapus tradisi; keduanya bisa berdampingan untuk saling memperkaya.
Butuh Strategi Holistik
Di Indonesia, inisiatif seperti lomba kaligrafi, menulis aksara daerah, dan program literasi berbasis tulisan tangan di beberapa pesantren dan komunitas adat dapat menjadi titik balik. Namun, masih dibutuhkan kebijakan yang lebih luas untuk mengintegrasikan kembali tulisan tangan sebagai bagian dari budaya literasi nasional.
Ke depan, kita memerlukan strategi yang holistik, pendidikan formal harus mengintegrasikan latihan menulis tangan tidak hanya di usia dini, tetapi juga di tingkat lanjut sebagai bagian dari proses berpikir kritis dan kreatif.
Di ruang kerja dan kehidupan profesional, catatan tangan bisa direhabilitasi sebagai teknik brainstorming dan pencatatan personal yang efektif. Pemerintah daerah dan komunitas budaya juga dapat menyelenggarakan lokakarya, festival, dan digitalisasi arsip tulisan tangan untuk memperkuat identitas lokal.
Tulisan tangan adalah jejak kepribadian yang tak tergantikan oleh font digital. Tulisan tangan membawa karakter, emosi, dan ketulusan yang tak bisa direplikasi oleh algoritma. Dalam dunia yang semakin otomatis dan impersonal, menjaga keterampilan ini berarti menjaga sebagian dari jiwa kita sebagai manusia.
Jangan biarkan tulisan tangan hanya menjadi artefak museum atau koleksi nostalgia. Kita masih punya waktu untuk merawatnya, tidak dengan menolak teknologi, tetapi dengan membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan.***