MAKASSARCHANNEL.COM – Tayangan dialog antara Calon Presiden Prabowo Subianto dengan Ustadz Abdul Somad memunculkan beragam tanggapan. Bahkan pakar semiotika Dr Acep Iwan Saidi membuat analisis khusus terkait dialog tersebut. Khususnya pada frasa Somad kepada Prabowo yang minta tak diundang ke Istana jika Prabowo menang Pilpres 2019.
“Kalau Bapak nanti memang duduk jadi presiden, terkait dengan saya pribadi, dua saja. Pertama, jangan Bapak undang saya ke Istana. Biarkan saya berdakwah masuk ke dalam hutan, karena saya dari sana. Saya orang kampung. Kedua, jangan Bapak beri saya jabatan apa pun,” ucap Somad sebagaimana perbincangan yang diunggah di channel YouTube Indonesia AdilMakmur, Kamis (11/4/2019), dan dikutip oleh Acep. Video pertemuan itu berdurasi 12,45 menit.
Dikutip dari laman detik.com, Acep mengaku merinding mendengar kalimat tersebut. Ada semacam aura yang terpancar.
“Saya merinding. Bukan semata karena ikut larut dalam ‘dialog sunyi’ itu. Bukan juga karena melihat seorang ‘Jenderal (Purnawirawan) Lapangan’ yang berurai air mata karena ungkapan tersebut. Tapi ada semacam aura yang menembus keluar dari layar kaca. Sesuatu yang misterius,” kata Acep dalam keterangan tertulis.
Acep lalu mengatakan dialog itu membuatnya berimajinasi mengenang berbagai tokoh besar di masa lalu. Dia menyebut banyak ulama dalam berbagai riwayat yang disebut tidak tergoda oleh takhta dan tak hirau pada harta.
“Bukankah banyak tercatat dalam riwayat, ulama yang tidak tergoda oleh tahta, tidak hirau pada harta. Alih-alih mengendap-endap ke Istana menjilati ranum anggur kuasa, mereka justru mencampakkannya. Mereka sadar benar, maqam ulama tidak di Istana, bahkan di dekatnya sekalipun. Dan UAS memotong ruang yang menghubungkannya: ‘jangan bapak undang saya ke istana!’,” ujar Acep.
Menurutnya, selama ini banyak perbincangan soal relasi antara ulama dan umara. Somad, kata Acep, tiba-tiba muncul dari belantara perbincangan itu dan meletakkan kembali martabat ulama pada maqam-nya.
“UAS (Ustaz Abdul Somad) sekonyong-konyong muncul dari belantara jargon bahasa sedemikian. Ia letakkan kembali martabat ulama pada maqamnya. Ia datang kepada kuasa bukan untuk terlibat, melainkan untuk memberikan amanat. Dititipkannya pesan simbolik, tasbih, dan minyak wangi. Berzikirlah wahai umara dan sebarkan wangi zikir itu kepada rakyatmu. Saya merinding. Dari dialog tersebut memancar martabat, sejatinya demikianlah wibawa ulama. Barangkali karena itu pula, seorang jenderal lapangan tidak berdaya menahan air mata,” jelasnya.
Acep menilai bisa saja aura perbincangan itu tak akan sedahsyat yang dia analisis jika bukan Somad yang bicara. Menurut Acep, salah satu yang membuat dialog itu dinilai dahsyat adalah Somad yang menolak tawaran cawapres beberapa waktu lalu.
“Tapi, tidak. Ustaz muda itu melompat melampaui usianya masuk ke dalam goa kesucian hati, mengentakkan rasio yang banal. Ia seperti telah menemukan sebuah kalimat, ‘salah satu tempat bersemayamnya godaan adalah pikiran’. Bukankah hanya akal yang bisa memberi kesan yang salah menjadi seolah-olah benar. Ketika Allah berfirman bahwa manusia dibekali akal untuk melawan iblis, sepertinya iblis sadar, akal pula yang mesti menjadi sasaran utama serangannya. UAS tidak mau mengakali nuraninya,” tutur Acep.
“Dan jenderal lapangan itu menangis. Betul kata penyair, ‘Kopi yang diseduh dengan hati, manisnya akan sampai ke hati’. Tentu saja, kopi demikian tidak akan pernah sampai kepada yang tidak punya hati,” pungkas Acep. (mun)