Tidak ada suara gaduh ketika suara penuh wibawa penyair Syahrir Rani Dg Nassa, membacakan puisi pembuka acara peluncuran buku Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar. Imajinasi Kekuasaan.
Suasana begitu tenang, sang kandidat calon walikota makassar Muhammad Amri Asyid, yang menjadi tamu utama, turut taksim dalam simaknya. Nampak sesekali ia mengaguk perlahan, menandai pahamnya akan lirik yang dibaca sang penyair.
Banyak yang mengapsresiasi positif, kehadiran kandidat wali kota Makassar no urut 4 itu, dalam acara yang diberi tajuk: Mengutui Isi Kepala Calon Wali Kota Makassar di Hotel & Convention Sultan Alauddin Makassar, Minggu (13/10/2024).
Sebuah acara yang diprakarsai K-Apel dan Kampus Lorong. Agenda utama adalah paparan sang calon wali kota mengenai visi dan misinya dalam relasinya dengan isi buku yang launching. Kemudian diskusi, ungkapan pandangan-pandangan penulis yang termuat dalam buku.
Banyak dari gagasan sang calon wali kota yang menarik, demikian pula masukkan-masukan dari beberapa penulis yang berkesempatan mengungkap kembali gagasan mereka di forum tersebut, untuk mengutui sang kandidat.
Membuat susana diskusi menjadi dialektik dan produktif, karena saling silang gagasan senantiasa bertemu dalam susana hati yang berseni.
Suatu hal, yang dirindu sang kandidat wali kota, dalam pengakuannya. Bahkan memberi ruang lebih lanjut, bagi penulis-penulis yang memiliki gagasan inovatif untuk turut rembuk dalam pembicaran yang lebih aplikatif.
Seluruh gagasan yang ditampakkan berakar pada problem masyarakat, sebagai manusia kota. Problem manusia modern. Dalam realitas, tengah abad 21, dua dekade belakangan, di mana kehidupan manusia, kata banyak ahli memang sedang tidak baik-baik saja.
Ada multi krisis pada hampir semua bidang kehidupan manusia secara masif, secara global-nasional-lokal. Krisis yang berakar pada krisis, kata Fritjof Capra. Paradigma sains adalah akar krisisnya.
Ada problem keamanan karena perang yang tak tekendali, krisis ekonomi yang membuat negara-negara menjelang bangkrut, bencana ekologi di laut, darat dan udara, bencana kesehatan dalam pandemi, dan bencana sosial berupa kriminalitas dan hilangnya moral dan susila yang mencengangkan.
Dan nampaknya, ada keletihan ilmu pengetahuan menghadapi problem yang dibuatnya sendiri. Bagaimana mengatasi problem-problem sifatnya fundamental itu?
Banyak yang berkata, beyond the rasion. Di Jakarta misalnya, dua tokoh ‘menawarkan’ satu kata sebagai jawaban. Anis Baswedan dan Ridwan Kamil: “Imajinasi”, kata mereka.
Mereka berkata kita butuh “imajinasi” membangun Kota Jakarta. Mungkin juga kata itu, untuk membangun negara kepulauan ini.
Dan, saya kira gagasan Rahman Rumaday menginisiasi dan menghimpun ragam gagasan dalam dalam buku “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar” ini, mungkin juga bagian dari upaya memberi ruang bagi “imaji” banyak tokoh-tokoh penulis dalam “mengimajinasikan pembangunan” ketika mereka “berkuasa” sebagai walikota Makassar.
Dan karena itu, mungkin tidak keliru jika kita menyebut isi buku ini adalah Imajinasi Kekuasaan.
Imajinasi kekuasaan adalah hasrat purba yang dimiliki manusia. Dan karenanya, kehidupan memberinya ruang dalam organisasi kekuasaan negara sebagai penguasa orang banyak, dalam level maksimal.
Dan “berkuasa atas diri sendiri” dalam level minimal. Terjadi sepanjang sejarah, sejak mula terbentuknya “kumpulan orang-orang”, dan akan tetap berlangsung hingga akhir sejarah.
Kekuasaan membutuhkan imajinasi untuk membangun masa depan manusia, kira-kira begitu determinasinya.
Di antara semua hadirin dalam acara launching ini, dalam posisinya sebagai warga negara, hanya Muhammad Amri Arsyid yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk “dipilih”, sementara lainnya akan menggunakan hak konstitusionalnya untuk “memilih”.
Secara beradab, tidak masalah kita yang menggunakan “hak pilih” untuk mengaminkan doa-doa terbaik mereka semua kandidat wali kota Makassar, tidak terkecuali Muhammad Arsyid dalam upaya konstitusionalnya, untuk terpilih sebagai walikota Makassar periode mendatang, agar dapat mewujudkan “imajinasinya” bagi kehidupan warga Kota Makassar.
Kita belum “tahu” bagaimana imajinasi membangun masa depan manusia. ***
*) Syafruddin Muhtamar, Dosen Univeritas Muslim Indonesia