Bala Suji Di Puisi Takrif Aksara SA Andi Marliah

IKATAN Penulis Muslim Indonesia menggelar diskusi buku kumpulan puisi Takrif Aksara SA karya Andi Marliah, Kepala SMP Muhammadiyah 3 Makassar.

Diskusi yang berlangsung di Jl Kapoposan No 2 Makassar itu, dipandu founder Komunitas Anak Pelangi, Rahman Rumaday. Hadir tiga pembahas yakni, Kritikus Sastra Andi Mahrus, Novelis Yudhistira Sukatanya, dan Penyair Muhammad Amir Jaya.

Mengawali diskusi, Andi Marliah sebagai penulis buku, mengaku karya puisinya itu benar-benar ilham yang sangat berharga dari Tuhan. Dia menggambarkan suasana batinnya ketika menulis puisi tentang Gunung Bawakarang.

“Ketika menulis puisi tentang Bawakaraeng, saya merasa mengalami trance dan seakan berada di puncak gunung itu. Padahal, saya belum pernah melihat tempat tersebut,” ujar penyair yang sering tampil di luar daerah membacakan puisinya itu.

Andi Mahrus yang menjadi pemantik pertama, menyelisik buku itu dari tiga aspek yakni; takrif aksara, filosofi, dan kode budaya daerah ini.

Secara spesifik Andi Mahrus menyorot Bala Suji (ada juga yang menulisnya Wala Suji), sebagai suatu karya leluhur Bugis-Makassar yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat yang menampung nilai filosofis di setiap sudutnya.

Filosofi di balik aksara lontara SA dalam puisi Andi Marliah itu menurut Andi Mahrus, penulis berbicara tentang hakikat kemanusiaan dan nilai religiusitas.

Pada setiap sudut Bala Suji ada makna filosofis yang dikenal dengan istilah Sulapa Eppa, yaitu Acca (cerdas), Lempu (jujur), Warani (berani), dan Getteng (istikamah) adalah prinsip hidup manusia beriman.

“Itulah salah satu hasil takrif dari penggalian kultural dalam puisi tersebut,” kata Andi Mahrus.

Penulis Takrif Aksara SA ini, menurut Andi Mahrus, pada hakikatnya telah menemukan makna filosofis religius kearifan lokal Bugis-Makassar pada empat sudut yang digambarkan dalam Bala Suji itu.

Sastrawan penyair yang juga mubalig kelahiran Bulukumba itu mengatakan pula, filosofi empat sudut Bala Suji merupakan konsep yang harus dipenuhi seorang calon suami sebagai bekal mengarungi bahtera rumah tangga.

Sebagai gagasan individu, buku Takrif Aksara SA ini adalah ide awal yang dilakukan oleh penulisnya untuk menemukan makna filosofis religius. Ada empat sudut yang bisa digunakan untuk mendapatkan kearifan lokal Bugis Makassar.

Andi Mahrus mengatakan, “Penulis adalah orang-orang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Dari situlah lahir karya berkualitas.”

Pemantik kedua, Novelis Yudhistira Sukatanya menyebut puisi-puisi Andi Marliah kaya idiom budaya. Hanya saja, banyak kata yang digunakan seakan dipaksakan, sehingga getah sastra puisi itu kurang terasa.

Yudhistira bahkan mensinyalir ada ambisi besar di balik kehadiran antologi Takrif Aksara SA. Sinyalemen itu tergambar dalam pengantar bukunya yang ingin mengembalikan keberadaan budaya dan tradisi melalui puisi.

Tak heran, jika untaian larik beberapa puisi sengaja memanfaatkan diksi dari khazanah budaya Bugis, Makassar, dan Toraja. Diksi itu diselipkan untuk penguatan tampilan khas karya sang penyair.

Jika menilik riwayat singkat Andi Marliah yang saat ini tercatat sebagai pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, sekaligus Kepala SMP Muhammadiyah 3 Bontoala Makassar, menjadi wajar jika dia cukup mengenal pernak-pernik diksi dan aksara khas Sulawesi Selatan yang relatif sudah sangat dikenal.

Signifikasi Andi Marliah adalah keberaniannya memilih bahan puisinya. Itu terlihat pada penggunaan diksi Wala Suji, Pakarena, dan Maudu Lompoa misalnya. Nyaris seluruh puisi mengadopsi diksi dari khazanah Sulawesi Selatan.

“Setidaknya, hanya dua puisi di antaranya, menyempal. Yakni Tasbih Langit dan Matahari di Langit Yogya,” kata dramawan Yudhistira Sukatanya.

Pertanyaannya adalah, berhasilkah penyair Andi Marliah menjadi pengungkap renungan budaya? Apa benar-benar membuktikan bahwa puisinya mampu mengembalikan marwah kekayaan kearifan budaya daerahnya untuk menjadi semacam pegangan hidup?

Siri’ na Pacce, misalnya. Siri’- malu- jika tidak mampu menjaga nilai budayanya. Mampukah menjadi nilai pembeda dengan anak negeri lainnya?

Kemudian pacce, yang bisa diartikan sebagai kepedulian? Ambil saja konteks peduli untuk melestarikan kebudayaan dan tradisi Sulawesi Selatan.

Rangkaian pertanyaan ini penting untuk menyimak apa dan bagaimana makna yang ingin disampaikan oleh penyair ketika mengulik diksi untuk puisinya dalam buku Takrif Aksara SA.

Bagaimana pula falsafah dan gambaran makna Aksara SA lontarak Makassar? Bentuk persegi empat yang dibaca SA memiliki takrif yang mengungkap tentang Keesaan Allah SWT. Apakah persepsi itu bisa berterima?

Ini soal makna kata yang merupakan hubungan antara ujaran dengan artinya. Sederhananya, makna kata adalah maksud yang terkandung dari kata itu.

Menurut Yudhistira, antologi puisi Takrif Aksara SA akan menarik jadi pembahasan jika pembahasnya berani menyelami kedalaman makna-makna diksi yang dipilih oleh si penyair.

Di balik kehadiran antologi puisi ini, ada isu besar yang dihadirkan penulisnya untuk menggambarkan budaya dan tradisi itu. Apa benar seperti itu?

Jawabannya sederhana, masing-masing kita punya cara untuk mewacanakannya dengan baik.

Yudhistira merefresh kembali dengan pertanyaan yang sangat menggoda. Apa benar budaya kita sedang tidak berdaya? Dan apakah benar puisi ini menjawab tujuannya?

Dramawan itu mengingatkan, kerja ini masih panjang dan butuh yang lain lagi untuk menuliskannya. Apalagi, puisi-puisi ini perlu dibaca berulang-ulang agar tidak salah memahaminya.

Yudhistira juga mengatakan, banyak kesalahan penulisan sehingga bisa menimbulkan salah pemahaman bagi pembacanya. Bahkan, bisa menyesatkan bagi mereka yang tidak memiliki banyak kosa kata. Jangan sampai makna yang disampaikan sesat jalan.

Sementara penyair Muhammad Amir Jaya menyarankan agar Andi Marliah memperdalam penelusurannya terhadap nilai-nilai kearifan lokal Bugis-Makassar.

Filosofi Tiga Ujung (tellu cappa) yaitu ujung lidah, ujung kelamin, dan ujung badik, dalam salah satu puisi di buku itu, menurut Amir Jaya, penting dipahami sebagai prinsip penegakan martabat warisan leluhur.

Penulis puisi Suradi Yasil yang hadir paling awal di lokasi diskusi menyarankan, agar penulis memberi catatan kaki terhadap kosa kata lokal yang digunakan. Alasannya, tidak semua pembaca paham maknanya.

Penulisan aksara SA saja bagi orang yang belum paham, akan mengejanya sebagai es-aa.

“Ini bisa menimbulkan pemahaman yang keliru,” kata Suradi mengingatkan potensi keliru penafsiran yang mungkin muncul di benak pembaca.

Secara berkelar, Suradi mengaku cemburu setelah membaca buku Takrif Aksara SA itu. Alasannya sederhana, dia mengaku tak mampu menuliskan hal yang sama.

Suradi Yasil mengutip salah satu diksi yang digunakan penulis sebagai contoh, yakni Ranjang Cinta. Diksi ini menurut Suradi, tidak menimbulkan pikiran pornografi.

Di bagian akhir diskusi, Andi Marliah berterima atas semua masukan untuk menyempurnkana buku tersebut dan akan lebih berhati-hati lagi dalam membuat karya berikutnya.

Andi Marliah juga mengapungkan keyakinannya bahwa akan tiba masanya adat akan dikembalikan kepada kemuliaan dan kebenaran ditegakkan. ***

*) Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi MAKASSARCHANNEL.COM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *