Jurnalis Dan “Jurnalis”

DISKUSI akhir pekan, Refleksi Hari Pers Nasional di Kafe Baca Jl Adhyaksa No 2 Panakkukang, Makassar, beberapa haril lalu, menghadirkan dua pemantik, Direktur Pusdiklat JOIN Zulkarnain Hamson dan Koordinator Satupena Sulawesi Selatan Rusdin Tompo.

Dialog bertajuk Media Massa dan Literasi Warga itu dipandu oleh akademisi UIN Alauddin Makassar Dr Fadli Andi Natsif. Hadir sejumlah jurnalis, antara lain, James Wehantow, Asnawin Aminuddin, Zaenal Altim, Arwan Daeng Ngawing, dan Anjas Abdullah, serta beberapa jurnalis lainnya.

Hadir pula akademisi dari Universitas Fajar Dr Sri Gusty, seniman Yudhistira Sukatanya, penyair Maysir Yulanwar, Presiden Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait) Muhammad Amir Jaya, serta pustakawan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan.

Zulkarnain Hamson memantik diskusi dengan mengangkat isu perkembangan media dari masa ke masa. Dia mengaku, sebelum berbicara di forum itu, sempat bertemu dengan Prof Hafied Cangara, berdiskusi seputar dunia jurnalistik.

Bercermin dari perkembangan teknologi yang sangat pesat, banyak kalangan menilai jurnalis sebagai sebuah profesi bakal punah. Salah satu indikatornya, terlihat pada semakin jarangnya orang yang membaca koran, sebagai salah satu hasil karya jurnalis.

“Siapa yang baca koran hari ini,” kata Zulkarnain. Pertanyaan kandidat doktor ilmu komunikasi itu hanya direspon senyum peserta diskusi. Bisa jadi peserta diskusi itu memang tak sempat baca media cetak.

Zulkarnain betul. Di era ini, jarang ditemukan orang berlama-lama membaca koran atau nongkrong di depan televisi. Apatah lagi secara khusus mendengar radio, jika hanya untuk meng-update informasi.

Itu, karena nyaris semua informasi sudah bisa didapatkan melalui gadget. Dengan bantuan perangkat telepon selular, informasi terkini sudah berada di ujung kuku yang bisa didapatkan anytime anywhere.

Kini, sebagian masyarakat tidak lagi menjadikan koran dan media cetak lainnya sebagai sumber informasi tunggal untuk meng-update kabar terkini. Apatah lagi bagi generasi milenial. Fungsi media cetak sudah tergantikan oleh media daring yang lebih mudah, cepat, dan praktis diakses.

Kendati demikian, tidak semua sepaham bahwa berubahnya platform sumber informasi akan menyebabkan jurnalis sebagai sebuah profesi bakal hilang ditelan zaman.

Koordinator Satupena Sulawesi Selatan Rusdin Tompo mengatakan, setiap orang sesungguhnya adalah penyampai berita. Tulisan mereka mudah ditemukan di media massa, mereka disebut sebagai citizen journalism. Jurnalisme warga. Artinya, kerja-kerja jurnalis sudah bisa juga dilakukan oleh warga kebanyakan.

Bahkan, Rusdin Tompo mengklaim, istilah literasi warga sudah digunakan sejak tahun 2001 melalui Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN), ketika membuat kerangka acuan pelatihan wartawan cilik bagi anak-anak dampingan Plan Indonesia PU Takalar, Sulawesi Selatan.

Kehadiran jurnalisme warga kian terasa dengan munculnya sejumlah platform media sosial seperti Facebook, Tiktok, Instagram, Youtube, dan Twitter sebagai sarana penyampai kabar.

Diskusi Refleksi Hari Pers Nasional itu juga menjadi forum otokritik bagi jurnalis dalam menjalankan fungsinya. Khususnya terkait independen wartawan dalam melaporkan hasil liputannya.

Maysir Yulanwar usai membaca puisi berjudul Wartawan Adalah Pengingat karya Rusdin Tompo di sela diskusi, menyampaikan kritiknya terkait independen media massa, saat ini. Khususnya jurnalis.

Dia mencontohkan kemesraan antara media dengan pemerintah, pengusaha, dan partai politik merupakan salah satu penyebab media bersangkutan tidak lagi mampu melakukan fungsinya dalam menyuarakan kepentingan rakyat secara utuh.

Penasihat Satupena Sulawesi Selatan, Yudhistira Sukatanya, bahkan mengingatkan adanya lonceng kematian terkait perkembangan pers saat ini sehingga menarik didiskusikan.

Meski demikian, dia meyakini jurnalisme tak akan mati. Hanya platformnya yang berubah sesuai perkembangan teknologi.

Yudhistira juga mengatakan, masih banyak orang baik yang akan mengawal dan menjaga marwah jurnalis dalam menjalankan fungsinya.

“Masih banyak orang baik,” kata Yudhistira singkat sembari tersenyum.

Sementara akademisi Universitas Fajar Sri Gusty menyebut diskusi Refeksi Hari Pers Nasional itu bernuansa edukasi.

Jurnalis, katanya, masih sangat dibutuhkan untuk mencerahkan warga. Itu karena jurnalis memiliki kekuatan besar.

Dalam kaitan literasi warga dengan dunia akademik, Sri Gusty menyebut, tidak sedikit dosen yang kekurangan dalam hal literasi.

Diskusi ini benar-benar dinamis. Di tengah sikap pesimistis tentang masa depan jurnalis sebagai profesi, masih mengapung juga optimistis yang tak kalah dahsyatnya.

Jurnalis bisa mati tetapi jurnalisme tak akan pernah punah. Dia akan tetap hadir sepanjang peradaban umat manusia masih berlanjut. Gelombang perubahan dan kemajuan tekniologi informasi tak akan mematikan jurnalisme, tetapi justru akan menyempurnakannya.

Kerja-kerja jurnalistik tidak akan berakhir. Hanya berubah platform saja. Jurnalisme akan terus berlangsung, karena selain sebagai konsumen, warga juga sudah menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada warga lainnya.

Dibutuhkan orang baik dana berani untuk menyampaikan fakta dalam berbagi kabar dan mengungkapkan kebenaran. Mengabarkan kebenaran itu tugas mulia bagi jurnalis meski risiko besar. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh jurnalis yang tidak tersandera oleh kepentingan sesaat.

Tak berlebihan jika disebutkan bahwa marwah dunia jurnalistik sesungguhnya dicoreng oleh “jurnalis” itu sendiri. Bukan oleh jurnalis sejati, tetapi oleh jurnalis dalam tanda petik yang banyak berseliwerang.

Di tengah sorotan terhadap “jurnalis”, saya tetap yakin, masih banyak jurnalis sejati yang menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Mewartakan kejadian dan menyingkap kebenaran. Karena itu kehormatan seorang jurnalis.

Catatan penting tentang independen, harap dibedakan antara independen jurnalis dan independen media sang wartawan tempatnya bekerja. Bagi jurnalis sejati, independen dalam menjalankan tugas mulianya adalah jati dirinya jika tetap ingin kepalanya tegak di setiap ruang dan waktu.

Dia berani memilih menantang risiko profesinya. Bahkan, meninggalkan media yang membesarkan namanya jika sikapnya tidak lagi sejalan dengan kebijakan media tempatnya berkarya.

Jurnalis pun sangat memahami bahwa media sudah berkembang menjadi industri. Tidak lagi murni sebagai alat perjuangan. ***

*) Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi MAKASSARCHANNEL.COM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *