Sahbirin Noor Permalukan KPK

Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor permalukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) setelah menang dalam sidang pra peradilan.

MAKASSARCHANNEL, JAKARTA – Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor permalukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) setelah menang dalam sidang praperadilan.

Meski sudah menetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap, KPK batal menahan Sahbirin Noor.

Pengacara Sahbirin Noor, Soesilo Aribowo, mengatakan, kliennya itu kini menjadi warga negara yang bebas.

Itu setelah majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Sahbirin Noor.

“Kalau kita melihat pada Sema No 1 Tahun 2018 untuk upaya hukum praperadilan ini tidak ada. Jadi, kembali masing-masing saya kira bisa menghormati putusan itu Pak Sahbirin dalam posisi sebagai warga negara yang bebas,” kata Soesilo kepada media di PN Jakarta Selatan, Selasa (12/11/2024).

Dia menjelaskan, pada persidangan praperadilan di PN Jaksel, majelis hakim mempertimbangkan pendapat ahli bahwa Sahbirin dalam status tidak tertangkap tangan.

Penetapan Tersangka Tidak Sah

“Karena ketika itu kan beliau tidak ada sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tertangkap tangan. Mau tidak mau proses penetapan tersangka seharusnya kemarin itu adalah sesuai dengan KUHP,” kata Soesilo.

Ia melanjutkan dimulai dengan pemanggilan di dalam penyelidikan permintaan keterangan, kemudian yang terpenting adalah pemeriksaan calon tersangka itu harus dilakukan oleh KPK.

“Saya kira itu yang terpenting tadi dari intisari putusan praperadilan. Artinya, yang penetapan Pak Sahbirin ini sebagai tersangka itu telah dibatalkan,” tegas Soesilo.

Sebelumnya, Hakim PN Jakarta Selatan, Afrizal Hadi memutuskan penetapan tersangka Gubernur Kalsel Sahbirin Noor oleh KPK tidak sah.

Menurut Afrizal, salah satu pertimbangannya berdasarkan keterangan ahli, dalam KUHP tidak ada definisi melarikan diri.

“Menimbang bahwa menurut keterangan ahli yang diajukan pemohon dalam persidangan maupun yang dilampirkan. Menerangkan bahwa di dalam KUHP tidak ada definisi atau melarikan diri,” kata hakim Afrizal di persidangan.

Secara umum, lanjut Afrizal, yang dimaksud melarikan diri adalah orang yang menghindari atau menjauhi suatu kewajiban atas tindakan yg dilakukan oleh pihak lain.

“Artinya, melarikan diri itu merupakan suatu reaksi atas aksi yang dilakukan. Dalam konteks ini, manakala dalam hal tersebut belum dilakukan pemanggilan.

Kemudian penyidik menyatakan bahwa tersangka melarikan diri atau menyatakan tersangka tidak ditemukan atau tidak ada,” kata hakim Afrizal Hadi.

Dua Konsep Berbeda

“Maka hal itu tidak dapat dinyatakan pengertian melarikan diri. Karena menurut ahli, melarikan diri dengan tidak ditemukan merupakan dua konsep berbeda,” jelas Afrizal.

Kalau tidak ditemukan, lanjut hakim Afrizal, belum tentu melarikan diri. Sementara melarikan diri bisa jadi ditemukan tapi tidak bisa ditangkap.

“Dengan demikian menurut ahli. Tersangka belum mengetahui apa kewajibannya terhadap surat panggilan. Karena surat panggilan belum diterima oleh tersangka dan terhadap surat panggilan tersebut belum disebutkan juga posisinya apakah sebagai saksi atau tersangka,” tegas hakim.

Hakim Afrizal melanjutkan maka petitum kedua, ketiga, keempat dan kelima permohonan patut dikabulkan.

“Sementara petitum keenam, ketujuh dan kedelapan harus ditolak karena membatasi kewenangan penyidik dan bukan kewenangan lembaga peradilan,” tegasnya.

Menimbang bahwa permohonan praperadilan dikabulkan, lanjut hakim Afrizal. Maka beban perkara peradilan dibebankan kepada termohon.

“Mengadili menyatakan menolak eksepsi termohon seluruhnya. Dalam pokok perkara menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Sahbirin Noor untuk sebagian,” jelas majelis hakim.

Sebagai informasi, KPK menetapkan Sabirin sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam kasus penerimaan suap dan/atau gratifikasi.

Reaksi KPK

Merespons keputusan majelis PN Tangsel, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, KPK menetapkan Sahbirin Noor sebagai tersangka berdasar dua alat bukti.

Hal itu juga sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Pasal itu mengatur tentang pengumpulan alat bukti yang dilakukan penyelidik. Jika ditemukan minimal dua bukti, maka penyelidik melaporkan kepada KPK untuk kemudian diteruskan ke tahap penyidikan.

“Dalam perkara yang bermula dari kegiatan tangkap tangan tersebut KPK menetapkan tersangka pada tahap awal penyidikan dengan minimal dua alat bukti,” kata Tessa, Selasa (12/11/2024).

KPK juga menggunakan dasar undang-undang yang berlaku secara lex specialis atau khusus bisa menetapkan tersangka ketika meningkatkan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.

Mengutip Kompas.com, Tessa mengatakan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur, penetapan tersangka baru bisa dilakukan di tahap penyidikan. (aka)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *