Oleh Bilal
DALAM beberapa tahun terakhir, wacana mengenai ekonomi syariah semakin mengemuka. Mulai dari diskusi zakat, wakaf, hingga instrumen keuangan berbasis syariah yang kian berkembang.
Namun di balik berbagai inovasi tersebut, ada satu aspek penting yang jarang dibahas secara mendalam: kebijakan fiskal Islam. Seperti halnya perdebatan ekonomi klasik antara Adam Smith, Karl Marx, hingga Keynes yang memengaruhi kebijakan negara modern.
Konsep fiskal Islam juga berangkat dari gagasan besar para ulama dan pengalaman panjang peradaban muslim dalam mengelola harta publik.
Kebijakan fiskal Islam bukan sekadar persoalan teknis tentang mengatur anggaran negara. Ia adalah bagian dari visi besar mengenai keadilan sosial, distribusi kekayaan, dan kesejahteraan umat (falah).
Baca Juga: Wakaf Digital: Kebaikan Sat Set, Amanah Tanpa Ribet!
Ekonomi modern konvensional membicarakan pertumbuhan, stabilitas, dan pasar. Sedangkan, ekonomi Islam menambah satu unsur yang tidak dapat terpisah: nilai moral dan amanah dalam mengelola harta umat.
Akar Gagasan: Mengelola Harta sebagai Amanah
Dalam literatur ekonomi syariah, kebijakan fiskal Islam, mendefinisikan sebagai kebijakan pemerintah dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran negara berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Artinya, negara tidak hanya bertugas membangun jalan, sekolah, atau fasilitas publik, tetapi juga memastikan bahwa harta publik tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Spirit ini sejalan dengan pesan Al-quran Surat Al-Hasyr Ayat 7
“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Ayat ini menegaskan agar harta tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya.
Baca Juga: Etika Bisnis dalam Islam: Pilar Moral Ekonomi Islam
Sistem fiskal Islam bergerak dari prinsip bahwa kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama, bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi. Setiap dirham yang dikumpulkan dan dibelanjakan negara harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat, terutama mereka yang berada dalam kondisi lemah: fakir, miskin, yatim, dan kelompok rentan lainnya.
Sumber Pendapatan Negara: Dari Zakat hingga Pengelolaan Aset Publik
Berbeda dengan sistem fiskal modern yang bertumpu pada pajak dan utang, sistem fiskal Islam memiliki sumber pendapatan yang lebih beragam dan memiliki karakter spiritual.
1. Zakat: Instrumen Sosial yang Menopang Kesejahteraan
Zakat bukan hanya ibadah individual, tetapi juga alat fiskal. Dana zakat dialokasikan untuk: fakir, miskin, pendidikan, kesehatan, program pemberdayaan ekonomi.
Baca Juga: Peran Pemuda IT dalam Fiqih Muamalah: Konsep Kepemilikan dan Akad dalam Islam
Di Indonesia, model ini tercermin pada peran Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang mengelola dana zakat secara profesional.
2. Kharaj dan Jizyah
Pada masa klasik, kharaj adalah pajak atas tanah yang dikelola negara. Sementara jizyah merupakan kontribusi non-Muslim sebagai imbalan perlindungan. Keduanya menyumbang pemasukan negara tanpa unsur eksploitasi.
3. Ghanimah, Fay’, dan ‘Ushr
Ghanimah adalah harta rampasan perang, sedangkan fay’ adalah mendapatkan harta tanpa peperangan. ‘Ushr sebagai pajak perdagangan dan hasil pertanian.
Meskipun konteksnya berbeda dengan zaman modern, prinsip utamanya tetap sama. Pemerintah memiliki sumber pemasukan yang tidak bertentangan dengan syariah.
4. Pendapatan Lain
Pendapatan lain termasuk pengelolaan sumber daya alam, wakaf produktif, hibah, dan aset-aset publik.
Baca Juga: Fiqih Muamalah dan Kecerdasan Buatan, Antara dan Batas Syari
Di era modern, pengelolaan wakaf dan aset negara mulai terkelola secara profesional melalui lembaga amil, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan badan pengelola wakaf nasional.
Pengeluaran Negara: Distribusi untuk Kemaslahatan
Pengeluaran negara dalam sistem Islam memiliki orientasi sosial yang kuat. Negara berkewajiban memastikan setiap warga memiliki akses terhadap kebutuhan dasar seperti: pendidikan, kesehatan, air bersih, keamanan, dan infrastruktur publik.
Selain itu, negara juga menanggung pembiayaan dakwah, pertahanan negara, bantuan sosial, pemberdayaan UMKM, dan investasi sosial lain melalui instrumen halal.
Dengan demikian, fiskal Islam menggabungkan fungsi negara sebagai penyedia layanan publik sekaligus penjaga keadilan sosial.
Fiskal Islam di Era Modern: Adaptasi tanpa Kehilangan Prinsip
Walaupun tidak ada negara modern yang sepenuhnya menerapkan sistem fiskal Islam, banyak prinsipnya telah teradopsi dalam berbagai kebijakan.
Contohnya pengelolaan zakat oleh Baznas yang mengubah zakat menjadi instrumen sosial berskala nasional.
Tabung Haji di Malaysia, yang mengelola dana setoran haji dengan model investasi halal.
Kemudian, program zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang pengelolaanya untuk pendidikan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan pemberdayaan ekonomi umat.
Lalu ada sukuk negara, yang membantu pembangunan infrastruktur tanpa riba.
Ini menunjukkan bahwa prinsip syariah tidak hanya relevan secara spiritual, tetapi juga praktis dan kompatibel dengan sistem ekonomi modern.
Tantangan
Meski menjanjikan, penerapan kebijakan fiskal Islam masih menghadapi beberapa tantangan atau kendala masing-masing:
Belum terintegrasinya sistem zakat dan pajak.
Kesadaran masyarakat membayar zakat masih rendah.
Keterbatasan lembaga pengelola dana publik yang profesional dan transparan.
Minimnya regulasi komprehensif tentang fiskal Islam.
Sistem ekonomi global masih sangat bertumpu pada bunga (riba).
Tantangan-tantangan ini membuat implementasi sistem fiskal Islam perlu strategi yang matang dan adaptif.
Penutup
Kebijakan fiskal Islam menawarkan sebuah pendekatan yang bukan hanya rasional, tetapi juga moral: mengelola harta dengan amanah, mendistribusikannya secara adil, dan memastikan kesejahteraan kolektif.
Sama seperti perjalanan pemikiran ekonomi klasik yang terus berkembang dari zaman ke zaman, fiskal Islam juga harus menyesuaikan diri tanpa meninggalkan nilai utamanya.
Dalam dunia yang penuh dengan ketimpangan ekonomi, korupsi, dan dominasi riba, kebijakan fiskal Islam dapat menjadi alternatif yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Dengan memahami prinsip dan praktiknya, kita dapat melihat bahwa ekonomi syariah bukan sekadar konsep normatif, tetapi juga sebuah tawaran solusi yang relevan bagi tantangan ekonomi modern. ***
Penulis adalah mahasiswa STMIK Tazkia Bogor











