Namun ada juga indikasi, penebang kayu yang umumnya masyarakat di sekitar hutan, saat ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap oknum yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah hilang jejak. Pelaku kejahatan itu menggunakan pola “rantai putus” untuk menghilangkan jejak.
Dalam cacatan JURnal Celebes selama masa pandemi, dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal, hampir semua pelaku yang diproses hukum, adalah masyarakat yang ditangkap karena menebang atau mengangkut kayu. Padahal, warga ini umumnya bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.
Berita Terkait :
Lagi, Petani Asal Soppeng Kembali Dikriminalisasi?
“Sedangkan, pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar,” Mustam.
Dicontohkan juga temuan dalam pemantauan di Luwu Timur. Selama masa pandemi pembalakan di daerah tersebut sangat massif. Khususnya di kawasan Mahalona Raya, Hutan Towuti, Luwu Timur.
Menurut Mustam, mobil truk bermuatan kayu log banyak ditemukan mondar-mandir di daerah tersebut. Bahkan ada beberapa di antaranya yang parker di halaman rumah warga.
Masifnya penebangan pohon di kawasan Mahalona Luwu Timur, lanjut Mustam, makin diperparah oleh ekspansi perkebunan dan pemukiman. Banyak warga yang membabat hutan dan diubah menjadi ladang merica. Meski harganya masih fluktuatif, namun warga sangat antusias menanam komoditas tersebut, beberapa tahun terakhir ini. (re)