“Jika pemilik server VPN menginginkan, dia bisa saja melakukan tapping (merekam) atas trafik yang lewat ke servernya dan berbagai risiko mengancam pengguna VPN gratisan tersebut,” lanjutnya.
Dengan kondisi seperti ini, ada sejumlah risiko mengintai pengguna. Pertama, data penting seperti kredensial akun, data kartu kredit, dan login internet banking yang tidak dilindungi dengan baik, akan bocor.
Kedua, katakan data tersebut diamankan dengan baik dan tidak bocor. Namun profil dari pengguna VPN, browsing ke mana saja, hobinya apa, kecenderungan politiknya, bisa terlihat dari situs-situs yang dikunjunginya dan terekam dengan baik di server VPN.
Baca Juga :
Ustadz Arifin Ilham Wafat, Ini Wasiatnya
“Ini bisa digunakan untuk kepentingan iklan atau lebih parahnya digunakan untuk mempengaruhi user. Misalnya, diketahui orangnya masih bimbang memilih, lalu ditampilkan iklan-iklan yang miring ke salah satu paslon seperti yang terjadi dalam kasus Cambridge Analytica,” papar Alfons.
Ketiga, trafik VPN yang masuk ke user dengan mudah bisa disusupi iklan atau malware yang jika digunakan untuk menginfeksi user dengan malware dan risikonya tidak kalah bahaya dengan kasus Spyware Israel di WhatsApp kemarin.
“Saya tidak bilang semua penyedia VPN gratisan buruk/jahat. Tetapi logikanya menyediakan layanan VPN membutuhkan server, biaya operasional dan bandwidth. Jadi tidak logis kalau ada VPN gratisan yang reliable. Kalaupun ada yang relatif aman tetapi performanya biasanya rendah (speednya rendah/lemot),” pungkasnya. (din)