SAYA sulit melupakan ucapan Nunding Ram, dosen saya di Kampus Baraya Universitas Hasanuddin, Makassar, 1970-an. Dia katakan; “Jika ingin sukses menjadi pemimpin maka berteaterlah.”
Bagi pemimpin birokrasi yang dicetak oleh Sekolah Ilmu Pemerintahan, tentu kalimat di atas teramat asing. Pemahaman teater bagi mereka, paling tidak, sebatas bioskop atau pementasan seni drama. Dan itu tidak salah.
Teater yang saya maksud ini adalah sebuah dunia imaji di atas panggung, tempat kita belajar bermonolog, berdialog, dan bahkan menjadi ruang epilog, di mana kita bisa berlatih untuk saling memahami serta menemukan jati diri sesuai peran hidup masing-masing.
Dulu, teater lazim disebut sandiwara, atau tonil di era penjajahan. Dan paling populer, teater dikenal dengan sebutan drama. Apa pun namanya, kesemua ini adalah jenis pertunjukan yang memiliki anasir teatrikal yang sama, yakni: monolog, dialog, dan epilog.
Di sinilah koherensinya dengan dunia birokrasi pemerintahan. Pimpinan lembaga pemerintahan wajib memiliki ketiga elemen sumber daya teatrikal tersebut.
Sayang sekali. Pemerintah di semua level tidak memanfaatkan ilmu teater untuk memberikan wujud otoritas wibawa atas kepemimpinannya. Padahal, sesungguhnya dengan monolog maka seorang pemimpin mampu melakukan perenungan batin (baca: kontemplasi) tentang hakikat sebuah amanah yang diletakkan oleh rakyat di pundaknya.
Dengan dialog, pemimpin terlatih mengembangkan komunikasi massa untuk menangkap aspirasi rakyatnya. Dan dengan referensi epilog, maka pemimpin terbiasa menyikapi proses monolog dan dialog sebagai solusi untuk membangun kemaslahatan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Setidaknya, jika pemimpin tidak ada bakat bermain teater, maka cukuplah sering-sering menonton sinetron di tivi atau sandiwara di panggung-panggung pertunjukan.
Bagi pemimpin birokrasi yang memahami proses manajemen sebagai seni memerintah, maka ia akan menempatkan teater atau sandiwara sebagai teknik approach untuk menyukseskan visi-misi kepemimpinannya. Mengapa? Sebab dalam teater atau sandiwara, ada gagasan-gagasan rasional yang baik dipraktikkan dan ada pula perilaku-perilaku menyimpang yang harus dihindari.
Etimologisnya, sandiwara berasal dari bahasa Sanskerta, yakni sandhi artinya lambang atau simbol. Dan wara, bermakna pendidikan. Jadi, sandiwara adalah media pendidikan dalam bentuk simbol-simbol. Penyampaian simbol-simbol itu bisa melalui setting pentas, kata-kata, dan bahasa tubuh (baca: dramatisasi atau teatrikalisasi).
Teater atau sandiwara, sering menyodorkan tema-tema kepemimpinan yang tidak bermoral, seperti: penjudi, pezina, pemabuk, pemeras atau perampok. Maka ketika kita menonton tema-tema seperti itu, hakikatnya, kita dididik secara simbolistik agar menghindari gagasan dan perilaku tokoh-tokoh tersebut.
Karena itu, wahai pemimpin di semua level pemerintahan, mari mengisi blanko tanggung jawab kepemimpinan dengan melakukan monolog, dialog, dan epilog untuk kemaslahatan dunia wal akhirat.
Dan kunci terakhir, bergurulah manajemen pemerintahan kepada Sutradara Teater. ***
*) Mahrus Andis, Kritikus Sastra, Seniman, Mubalig, dan Budayawan, tinggal di Bulukumba