“Setelah prosesnya bergulir di Pengadilan Negeri Watansoppeng, hakim memutus ketiganya tidak bersalah dan bebas. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UU P3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun-temurun mengelola kebun yang diklaim masuk kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk keperluan sehari-hari. Penuntut Umum mengajukan kasasi dan pada Februari 2019, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng,” beber Edi.
Dijelaskan pula, UU P3H seringkali digunakan untuk menjerat petani kecil yang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan. Padahal, undang-undang ini sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial. Dalam implementasinya, undang-undang ini justru digunakan untuk menjerat petani tradisional yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan dan menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.
Kasus Natu yang saat ini diproses di Polres Watansoppeng semakin menguatkan bahwa UU P3H mengandung ketidakpastian hukum. Rumusan pasal-pasal pidana dalam UU P3H bersifat diskriminasi, tidak cermat, tidak jelas, multitafsir, dan bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga dengan mudah disalahgunakan oleh penegak hukum.
Baca Juga :
YLBHI Akan Polisikan Menteri ATR/BPN
Edi menegaskan, diduga upaya kriminalisasi terhadap Natu adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Yaitu; hak atas milik pribadi (vide Pasal 28H UUD 1945), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (vide Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945), hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (vide Pasal 28A UUD 1945) dan hak untuk mengembangkan diri dan keluarga (vide Pasal 28C UUD 1945).
“Rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional membuktikan bahwa Agenda Reforma Agraria Presiden Joko Widodo sejak periode pertama tidak berjalan. Program Tanah Objek Reforma Agraria-TORA khususnya angka 4,1 juta Ha redistribusi kawasan hutan tidak terealisasi. Agenda Reforma Agraria yang terlihat tidak lebih dari sekadar program sertifikasi–bagi-bagi sertifikat semata, sementara konflik agraria signifikan tak terhenti,” urai Edi.