MAKASSARCHANNEL, JAKARTA – Amnesty International ragukan komitmen penegakan HAM Pemerintahan Prabowo Subianto yang baru saja dilantik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid melalui keterangan tertulis, Senin (21/10/2024), mengaku ragu berdasarkan pernyataan Yusril Ihza Mahendra.
Itu sebagai respons terhadap pernyataan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan peristiwa ’98 bukan pelanggaran HAM berat.
“Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM,” ujar Usman Hamid.
Dia berpendapat, pernyataan Yusril tidak mencerminkan pemahaman Undang-Undang yang benar,khususnya mengenai pengertian pelanggaran HAM berat, pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU 39/1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Abaikan Laporan Resmi
Pernyataan itu juga, terang Usman, mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
“Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis,” kata Usman.
Dia menjelaskan, menurut hukum internasional setidaknya terdapat empat kejahatan paling serius yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma.
Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung.
“Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” tutur Usman.
Dia menambahkan pernyataan Yusril bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum, melainkan juga menunjukkan sikap nir empati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.
Tragedi Mei 1998
Ia menyinggung kasus Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, pemerkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu.
Pernyataan Yusril disebut menjadi sinyal buruk pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Usman mengatakan, pemerintahan yang lama juga pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-undang. Bukan oleh presiden apalagi menteri, tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM,” tutur Usman.
Dia melanjutkan, “Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas.”
Respons Menteri HAM Natalius Pigai
Menteri HAM Natalius Pigai enggan membicarakan pelanggaran HAM masa lalu saat dikonfirmasi di hari pertamanya sebagai Menteri HAM.
“Sabar dulu. Hal-hal yang sifatnya kasuistik kan saya bilang di sini, saya membangun HAM,” jawab Pigai.
“Pembangunan HAM itu harus secara holistik. Nanti aspek-aspek spesialnya itu akan muncul, mana yang menjadi kasuistik, mana yang menjadi pembangunan,” kata Pigai di Kantor Kementerian HAM, Senin (21/10).
Pigai yang merupakan aktivis kemanusiaan ini memastikan Prabowo menaruh perhatian khusus terhadap HAM. Hal itu dilihat dari nomenklatur Kementerian HAM yang baru dibentuk di rezim saat ini.
“Kenapa Kementerian HAM itu dihadirkan? Berarti presiden punya perhatian khusus. Saya prajurit presiden, tanpa Kementerian HAM pun saya bisa dapat Kementerian lain. Saya 20 tahun ikut dengan presiden, 30 tahun saya kenal presiden. Bagi saya tidak ada hubungan,” tutur Pigai.
“Kenapa presiden mau bikin Kementerian HAM? Berarti ada sesuatu besar yang mau dibikin,” ia menegaskan.
Pernyataan Yusril
Sebelumnya, Menko Kumham Yusril Ihza Mahendra menyebut peristiwa 98 bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Yusril mengatakan pelanggaran HAM berat terakhir terjadi saat masa penjajahan. Menurutnya, hal itu tak terjadi lagi di beberapa puluh tahun terakhir.
“Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10).
“Enggak,” kata Yusril saat ditanya apakah peristiwa 98 termasuk pelanggaran HAM berat.
Yusril menjelaskan setiap kejahatan adalah pelanggaran HAM. Namun, tidak semua kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat.
Dia berkata pernah menghadapi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat saat menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, pada awal reformasi. Ia menjalani sidang di Komisi HAM PBB di Jenewa selama tiga tahun.
Yusril juga sudah membentuk pengadilan HAM, baik ad hoc maupun konvensional. Dia pun membentuk komite kebenaran dan rekonsiliasi.
“Jadi, sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Sosok Prabowo
Sebelumnya, peristiwa 98 kembali menjadi sorotan publik usai Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden. Prabowo dikenal sebagai sosok yang diduga terlibat dalam penghilangan paksa aktivis pada tahun 1998.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memeriksa tujuh tudingan terhadap Prabowo, termasuk penculikan aktivis.
DKP menyatakan Prabowo bersalah dalam keputusan nomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran. Namun, kasus penghilangan paksa dianggap belum terselesaikan.
Pemerintahan Presiden Jokowi sebenarnya sudah mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tiga di antaranya terjadi di sekitar 1998.
Pertama, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Lalu kerusuhan 13-15 Mei 1998. Ketiga, penghilangan paksa 14 orang pada 1997-1998. (aka)