Industri Perahu Pinisi Bulukumba Terancam Punah

MAKASSARCHANNEL.COM – Beberapa tahun terakhir, industri pembuatan perahu pinisi di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, kesulitan mendapatkan bahan baku utama, kayu batti.

Saat jumpa media di Kafe Baca Jl Adhyaksa No 2 Makassar, Sabtu (19/6/2021), Direktur Eksekutif JURnaL Celebes, Mustam Arif, mengatakan, jika pemerintah tak segera mengambil langkah berkelanjutan untuk mengatasi kelangkaan bahan baku utama kayu tersebut, maka industri pinisi di Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, itu bisa jadi bakal tinggal nama saja.

Dalam sebuah lokakarya JURnaL Celebes dengan pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan yang membahas keberadaan industri kapal, kata Mustam, terungkap, pesanan perahu pinisi meningkat, sementara di sisi lain, pembuat perahu kesulitan mendapatkan kayu batti.

Menurut Mustam, basis kayu bernama Latin vitex cofasus itu ditemukan banyak tumbuh di tiga daerah di Sulawesi Selatan, yakni; di Bulukumba, Sinjai, dan Kabupaten Gowa. Namun, setelah puluhan tahun menjadi bahan baku utama pembuatan pinisi, jenis kayu tersebut makin berkurang. Kecuali di hutan adat Kajang yang masih terjaga.

Itu pun, Direktur JURnaL Celebes tersebut menilai, “Ke depan merupakan ancaman bagi kawasan hutan adat, ketika masing-masing pihak terdesak kebutuhan.”

Ketika kayu bitti di Bulukumba makin berkurang, begitu pula di daerah lain di Sulawesi Selatan, lanjut Mustam, pembuat perahu pinisi mendapat pasokan kayu dari provinsi lain, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, hingga Papua.

Berita Terkait :
JURnal Celebes Bilang Kejahatan Kehutanan Di Sulsel Meningkat

“Sebagai produk kebudayaan dari peradaban Bugis, JURnaL Celebes berharap Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memikirkan keberlanjutan pembuatan perahu pinisi berbahan baku kayu itu,” kata Mustam Arief yang juga mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat Makassar itu.

“Jangan sampai suatu ketika, pinisi dibuat dari fiber glass. Padahal pinisi merupakan produk kultural bernilai tinggi, tersohor di dunia bahari, menjelajahi samudera dengan teknologi tradisional berbasis kearifan local, sebelum kapal modern didukung teknologi canggih,” kata Mustam.

Menurut Mustam, industri pinisi tidak boleh tergantung ada ketersediaan kayu bitti di hutan alam yang akan habis. Perlu budidaya, hanya saja, tantangannya bukan hanya lahan dan teknologi budidaya saja, tetapi perkembangan kayu jenis ini membutuhkan waktu sekira 30 hingga 40 tahun untuk mencapai ukuran dan kualitas terbaik untuk pembuatan pinisi.

“JURnaLCelebes mengusulkan salah satu cara dengan mengembangkan program konservasi berbasis kayu batti yang bermanfaat ganda, untuk kelanjutan industry pinisi sekaligus berfungsi ekologis. Pengembangan melalui budidaya silvikultur untuk menjamin proses secara ekonomi dan ekologi. (res)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *