Puluhan wartawan ngumpul di lantai 7 Hotel Karebosi Primier, Jl Jenderal M Jusuf Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa, 27 Februari 2024 pagi.
Mereka memenuhi undangan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar yang menggelar Diskusi Tentang Perempuan Dalam Perspektif Industri Media.
Serial diskusi tentang Implementasi UU dan Kebijakan Perlindungan Perempuan itu terselenggara atas kerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia Sulawesi Selatan.
Diskusi yang dipandu Syakhruddin DN itu, menghadirkan dua pemateri, Abdul Manaf Rahman dari PWI Sulsel dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Sulsel Fadiah Machmud.
Diskusi sekira tiga jam itu berlangsung dinamis. Pemateri dan peserta diskusi menyampaikan beberapa contoh kasus terkait pemberitaan tentang perempuan.
Fadiah Machmud dari Lembaga Perlindungan Anak Sulsel menyebut, pemberitaan isu perempuan oleh media dapat memengaruhi cara pandang pembaca.
Sekira 70 persen berita media, kontennya terkait perempuan. Mulai dari host, news anchor, sinetron, infotainment, religi, ajang pencarian bakat, hingga iklan, tak sepi dari kehadiran perempuan.
Dia mengingatkan fungsi media sebagai penyampai informasi mengemban juga fungsi pendidikan dan kontrol sekaligus sebagai simbol perekat sosial.
Fadiah yang tampil sebagai pemateri kedua “menggugat” media yang kadang menggunakan diksi kurang tepat saat menggambarkan posisi perempuan dalam pemberitaan.
Media sering lebih menonjolkan fisik perempuan. Padahal, akan lebih bijak jika mengedepankan prestasi yang bersangkutan daripada sekadar penampilannya.
Eksploitasi
Perempuan kadang menjadi objek yang dieksploitasi dalam pemberitaan. Dimunculkan dalam berita yang tidak terkait langsung dengan informasi yang akan disampaikan.
Tak sedikit pula berita yang menampilkan pose perempuan hanya sebagai “aksesori” saja. Tak ada kaitan langsung antara perempuan dengan produk yang diendors.
Dia juga mencontohkan penggunaan diksi janda. Seharusnya bisa menggunakan kata yang tidak menimbulkan penafsiran negatif. Misalnya, memakai kata orang tua tunggal atau single parent.
Imbauan bernuansa gugatan terhadap media itu bisa dipahami dan diterima sebagai masukan untuk tujuan yang lebih baik. Hanya saja, akan jauh lebih mudah dan bijaksana jika edukasi berjalan paralel.
Maksudnya, harapan agar media memilih diksi pemberitaan yang tidak mengekspoloitasi fisik perempuan, dibarengi juga dengan edukasi.
Eloknya, perempuan juga menampilkan diri pada posisi dan busana yang tepat di setiap momen.
Contoh yang tersaji secara kasat mata bisa dilihat saat pameran otomotif misalnya. Apa kaitan antara kendaraan yang dipromosikan dengan SPG berbusana minim yang berdiri di samping mobil?
Pilihan Diksi
Terkait penggunaan diksi janda. Ini kata baku yang mudah dipahami oleh pembaca. Menggunakan kata orang tua tunggal bisa dilakukan, tapi kurang tepat karena duda juga orang tua tunggal.
Selain itu, banyak yang berstatus janda justru tak mempermasalahkan kata itu. Bahkan, saya menemukan sebuah komunitas yang secara tegas menyebut kelompok mereka Forum Janda Inspiratif (Forji).
Mereka menghimpun diri melakukan kerja-kerja positif, kreatif, dan menginspirasi yang justru menunjukkan ketangguhan mereka sebagai insan berkepribadian ulet. Tak terganggu status.
Menjadi janda bukan karena mereka terpaksa harus menerimanya. Tidak sedikit di antara mereka yang justru memilih menjadi janda. Mereka yang memutuskan berpisah dan secara sadar memahami bakal berstatus janda.
Manaf Rahman mengingatkan bahwa Dewan Pers telah membuat Pedoman Penulisan Ramah Anak yang seharusnya menjadi rambu-rambu bagi jurnalis dalam membuat berita terkait anak.
Data di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar menurut Manaf, mengonfirmasikan bahwa jumlah kasus terkait perempuan meningkat setiap tahun.
“Jadi, bisa saja peningkatan jumlah kasus itu terjadi dari dampak pemberitaan itu sendiri,” ujarnya.
Meski sudah ada pedoman penulisan tentang anak, faktanya masih sering ditemukan berita vulgar tentang anak dan perempuan yang seharusnya tak perlu diungkap ke publik.
Isu Kekerasan
Kepala Dinas PPPA Kota Makassar Achi Soleman mendorong pers menyajikan informasi positif yang dapat mengedukasi khalayak tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan anak di Kota
Makassar.
“Kita mendorong media agar menghasilkan berita bernuansa positif, berempati kepada korban dan tentu netral pemberitaan terkait dengan isu kekerasan perempuan dan anak,” kata Achi Soleman.
Ia berharap, bukan hanya sekadar menyajikan informasi, tetapi kode etik pemberitaan dan diksi yang digunakan soal kasus kekerasan harus benar-benar memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Ini penting. Kode etik pemberitaan, edukasi tentang kekerasan perempuan dan anak itu harus berimbang. Bukan hanya korban saja diberitakan, tetapi pelaku pun demikian,” ucapnya.
Jangan sampai tidak tersosialisasikan dengan baik, sehingga nantinya masih ada persepsi ketika korban diberitakan muncul terus menerus padahal pelakunya itu tidak diberitakan.
“Nah, persepsi inilah yang harus dibangun di kalangan pers dan kami berharap media dapat memberikan wawasan positif, edukasi terhadap pembaca tentang isu-isu perlindungan perempuan dan anak,” jelas Achi.
Kendati ada hal-hal negatif dalam sebuah pemberitaan, tidak ditelan mentah-mentah oleh netizen. Ya, Kita selaku pembaca punya wawasan lebih bagus berwawasan positif.
“Saya yakin teman-teman wartawan dan wartawati yang hadir di sini dari beberapa media, kita mempunyai persepsi yang sama. Jika ada korban jangan lagi dia menjadi korban,” katanya.
“Misalkan, inisial nama yang dimaksud. Namanya jangan dikasih panjang. Terus jangan dikasih jelas alamatnya. Etika dalam pemberitaan itu yang kami harapkan,” ujarnya.
Yang pasti, adagium the bad news is good news tak populer lagi. Friendly newspaper sudah menjadi pilihan banyak pengelola media. #salamikhlas
*) Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi MAKASSARCHANNEL.COM