POLUSI udara merupakan catatan hitam dengan komplikasi permasalahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk keluar dari pusaran itu butuh polusi yang efektif dan berkelanjutan. Bukan tentatif.
Agar bisa pulih, perlu pendekatan holistis, terpadu, dan terkoordinasi. Salah satunya adalah pendekatan pentahelix yang mengkolaborasikan lima indikator utama, yaitu pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, masyarakat, dan media massa. Mengeksplorasi pendekatan tersebut dapat berkontribusi dalam penanganan polusi udara yang semakin kompleks.
Data situs pemantau kualitas udara IQAir 2019 menunjukkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2016, Indonesia beralih dari salah satu negara paling bersih di dunia menjadi negara yang masuk dalam daftar 20 negara paling berpolusi.
Penyebabnya, karena konsentrasi polusi partikulat udara di negara kita meningkat 171 persen. Di antaranya adalah, Jakarta yang dihuni lebih dari 10 juta jiwa dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) berada di angka 170 atau masuk kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2.5.
Kondisi yang tidak jauh berbeda, tercatat terjadi di Surabaya, Bandung, Semarang, Bogor, dan Makassar (data IQAir 2023). Jika kondisi buruk tersebut tidak berkesudahan, akan menambah list panjang daerah-daerah dengan angka polusi buruk.
Overview tersebut pastinya menjadi kabar buruk bagi pemerintah yang memegang peran sentral dalam penanganan polusi udara. Sebagai pihak yang memiliki kendali kewenangan mengatur dan mengawasi emisi industri, mengeluarkan peraturan lingkungan, dan memberlakukan sanksi, maka data dan fakta tersebut merupakan warning untuk segera melakukan evaluasi dan koreksi.
Pendekatan pentahelix dapat dijadikan sebagai sebuah strategi untuk melakukan pemulihan atas buruknya kondisi udara tersebut. Melalui pendekatan pentahelix ini, pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan kerangka kerja kebijakan yang mendukung upaya pengendalian polusi udara.
Upaya serupa telah tercatat berhasil diimplementasikan di sejumlah negara, termasuk Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris. Negara-negara itu telah memberlakukan dan menerapkan kebijakan untuk mengurangi polusi udara melalui slogan “perang melawan polusi”.
Mereka menyatakan perang karena dampak polusi udara terhadap sektor ekonomi, total telah menimbulkan kerugian mencapai 8 triliun dolar AS, melebihi 6,1 persen PDB global. Kebijakan ini membebankan dan menitikberatkan biaya bagi pelaku pencemaran.
Selain itu, upaya seperti uji emisi, menyiram jalan, sampai menyemprotkan air dari atas gedung pencakar langit, dinilai tidak efektif oleh beberapa pegiat lingkungan. Sehingga, diperlukan ikhtiar serius yang lebih strategis dan berlandaskan data ilmiah.
Dalam perspektif lain, pelaku bisnis juga mengambil peran dalam catatan kerugian yang diakibatkan oleh polusi udara itu. Dengan demikian, mereka tentu saja sangat patut ikut bertanggung jawab. Perusahaan-perusahaan sebagai pelaku bisnis memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi polutan dan mengadopsi teknologi ramah lingkungan.
Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah dapat mendorong inovasi dalam teknologi bersih dan pembangunan industri yang berkelanjutan. Skema kolaborasi itu butuh dukungan akademisi yang diharapkan memainkan peran kunci dalam pendekatan pentahelix.
Peran itu, berupa melakukan riset yang diperlukan sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Penelitian lintas disiplin ilmu, mulai dari ilmu lingkungan, teknik, kedokteran, ekonomi serta bidang lain, sangat penting untuk mengatasi masalah darurat polusi ini.
Partisipasi masyarakat tidak kalah penting perannya. Masyarakat sebagai konsumen produk inovatif dan konsumen produk kebijakan pemerintah harus menajamkan mata dan telinga atas setiap kondisi yang terjadi. Mereka juga punya hak sebagai warga negara.
Masyarakat sebagai support system, perlu meningkatkan kesadaran kritis tentang polusi udara, dan ikut melakukan advokasi tindakan perlindungan lingkungan. Mereka, misalnya dapat berpartisipasi dalam kampanye lingkungan, mengedukasi masyarakat, dan menekan pemerintah dan pelaku bisnis untuk bertindak lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Bahkan, ada ruang bagi masyarakat untuk melakukan gugatan warga negara atau citizen lawsuit. Sayangnya, saluran hukum ini jarang dimanfaatkan. Padahal, citizen lawsuit merupakan mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Gugatan tersebut diajukan bukan untuk mendapatkan ganti rugi secara riil, melainkan guna mendorong pemerintah melakukan kewajibannya secara lebih serius dalam melihat keresahan masyarakat.
Aksi-aksi yang dilakukan oleh pelbagai pihak tersebut membutuhkan media massa sebagai media informasi dan publikasi. Dibutuhkan media massa sebagai pelantang mempublikasikan masalah polusi udara, mempromosikan praktik hidup bersih, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan lingkungan. Bila perlu, semua platform digital juga digunakan. Tagar yang sama perlu disuarakan di jagat maya sebagai bagian dari digital social movement.
Dari paparan ini tergambarkan bahwa pendekatan pentahelix mengandalkan kerja sama kelima aktor sebagai pemeran utama. Pemerintah, swasta, perguruan tinggi, masyarakat, dan media massa perlu mencapai solusi padu dalam menangani polusi udara melalui kolaborasi yang efektif bukan single solution.
Niscaya, pendekatan pentahelix mampu membuktikan dirinya sebagai fondasi yang kuat mengembalikan Indonesia pada kondisi tahun 1998. Namun, perjalanan ke sana tentu masih panjang. Investasi dalam penelitian, edukasi yang masif, pemanfaatan teknologi, dan praktik-praktik berkelanjutan, sebagai wujud pengabdian sangat mendesak dibutuhkan.
Penulis berkeyakinan, akan tiba masa Indonesia pulih dari polusi, sehingga kita dapat menghirup udara bersih lagi melalui pendekatan pentahelix.
Bukankah sejatinya kita punya falsafah gotong royong sebagai akar budaya dan nilai-nilai yang bisa jadi semangat pendekatan pentahelix tersebut?
*) Dr Sri Gusty, Wakil Dekan Pascasarjana Unifa Makassar