Majelis Kehormatan MK Akan Periksa Panitera Kasus Capres-Cawapres

MAKASSARCHANNEL, JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memastikan bakal memeriksa panitera MK, berkaitan dengan kejanggalan pendaftaran perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 karena ada masalah.

Sebagai informasi, perkara itu dikabulkan MK melalui putusan kontroversial, Senin (16/10/2023), yang menjadi tiket untuk putra Presiden Jokowi yang juga keponakan Ketua MK Anwar Usman, Gibran Rakabuming, maju pada Pilpres 2024.

“Kami sudah merancang pemanggilan terhadap panitera. Sudah tahu itu. Jadi ada masalah dalam administrasi.Itu kami mau cek. Kami panggil,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang pemeriksaan pelapor 4 perkara dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Selasa (31/10/2023).

Pemeriksaan itu dijadwalkan, Jumat (3/11/2023) secara tertutup. Pemeriksaan tertutup kepada panitera ini sesuai dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2023 tentang MKMK.

“Tidak apa-apa, percayakan saja kepada kami. Sudah dirancang sesuai aturan itu. Pada prinsipnya tertutup, hakim tertutup, panitera juga tertutup,” ujar Jimly.

Desakan agar MKMK memeriksa panitera ini juga disampaikan salah satu pelapor mewakili LBH Yusuf Zaid Mushafi. Ia merujuk pada sebuah berita investigasi yang mengungkap adanya perintah untuk panitera menerima berkas pendaftaran ulang perkara yang sempat ditarik itu.

Ia berharap MKMK dapat memeriksa panitera secara terbuka atau paling tidak menghadirkan para pelapor dalam pemeriksaan tertutup.

Senada, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang juga melaporkan Anwar Usman, Violla Reininda, berharap agar MKMK setidaknya membagikan transkrip hasil pemeriksaan panitera itu kepada para pelapor.

Hanya saja, Jimly belum bisa memberi kepastian soal hal tersebut. Tetapi membuka kemungkinan, transkripnya dibagikan namun hanya kepada pelapor yang dalam gugatannya memang spesifik menyoroti kejanggalan pendaftaran perkara itu, bukan kepada pelapor yang spesifik menyoroti konflik kepentingan Anwar Usman.

“Baik, nanti biar kami rundingkan itu ya, kita masih ada waktu. Bisa aja 3 itu yang kita kasih, karena status itu rahasia. Biar kami lihat dulu, sebab ada kemungkinan kesimpulannya tidak bisa karena rahasia tadi,” jelas Jimly.

Kejanggalan soal penarikan dan pendaftaran ulang berkas perkara dengan pemohon Almas Tsaqibbirru itu sebelumnya diungkap hakim konstitusi Arief Hidayat dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan yang sama.

Dalam dissenting opinion-nya, Arief memaparkan kronologi bahwa kepaniteraan MK menerima surat penarikan gugatan yang dikirim kuasa hukum Almas, pada Jumat (29/9/2023).

Surat itu bertanggal 26 September 2023. Namun, pada Sabtu (30/9/2023), MK menerima surat baru dari kuasa hukum Almas bertanggal 29 September 2023 yang memuat pembatalan surat pencabutan gugatan yang mereka serahkan kepada MK satu hari sebelumnya. Almas cs meminta MK tetap memeriksa dan memutus perkara itu.

Lalu, pada Selasa (3/10/2023), MK menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas.

Menurut kuasa hukum, surat pembatalan penarikan gugatan itu diterima oleh petugas keamanan MK bernama Dani pada Sabtu (30/9/2023) malam.
Namun berdasarkan penelusuran Arief, merujuk Tanda Terima Berkas Perkara Sementara yang dicatat oleh MK, surat pembatalan pensrikan gugatan itu baru diterima pada Senin (2/10/2023) pada pukul 12.04 WIB.

Arief berujar, pegawai MK yang menerima surat itu pun bukan Dani, sebagaimana dikatakan tim kuasa hukum. Pegawai MK yang namanya tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara adalah Safrizal.

Arief mengaku heran karena kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan penarikan gugatan itu pada Sabtu (30/9/2023) yang notabene merupakan hari libur, bukan pada Senin (2/10/2023) sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara.

Arief menilai, pemohon mempermainkan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan gugatan.

Mantan Ketua MK itu juga menilai, pemohon mestinya tidak dapat mengajukan lagi gugatan yang telah mereka cabut, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang.

Di sisi lain, MK dinilai seharusnya menolak surat pembatalan penarikan perkara dan tak lagi memeriksa apalagi mengabulkan permohonannya. (aka)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *