Launching Buku Kaki-Kaki Telanjang Di Kafe Baca

MAKASSARCHANNEL, MAKASSAR – Buku antologi puisi Kaki-kaki Telanjang karya Muhammad Amir Jaya diluncurkan dan didiskusikan di Kafe Baca Jl Adhyaksa No 2 Panakkukang Makassar.

Peluncuran dan diskusi buku setebal 71 halaman itu menghadirkan pembahas Andi Mahrus (kritikus sastra), Zulkarnain Hamson (akademisi), Irhyl Makkatutu (cerpenis), Yudhistira Sukatanya, dan penyiar Andi Ruhban sekaligus sebagai moderator.

Peluncuran buku ini bertepatan dengan peringatan ulang tahun 56 tahun penulisnya. Hadir pula antara lain; founder Komunitas Anak Pelangi Rahman Rumaday, cerpenis Anwar Nasyaruddin , akademisi UIN Fadli Andi Nasif, akademisi Syafruddin Muhtamar, pegiat literasi Rusdin Tompo, penyair Maysir, Andi Marliah, dan Syahril Patakaki, Suparman Sopu, serta guru SMA 17 Makassar Murnih. Seremoni peluncuran buku diawali oleh MC guru SMA 5 Sadrianah.

Penulis buku ini, lahir di Tanaberu Kepulauan Selayar, 9 September 1967 merupakan Alumni Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni-IKIP Ujungpandang (sekarang UNM). Ini merupakan buku ke-7.

Mahrus Andis mengawali kritiknya dengan menyampaikan bahwa Cerpen Kaki-Kaki Telanjang memiliki tema menggelitik dan kaya pesan moral, utamanya terkait isu-isu korupsi.

Kritikus sastra kelahiran Kabupaten Bulukumba ini mengatakan, cerpen adalah karya sastra jenis prosa. Berbeda dengan puisi, cerpen memiliki konvensi penulisan tersendiri berupa plot atau sering disebut alur cerita. Plot sebuah cerpen biasanya bersifat konvensional dan nonkonvensional.

Membaca Kumpulan Cerpen Kaki-kaki Telanjang karya M Amir Jaya ini, menurut Andi Mahrus, kita berhadapan dengan plot konvensional. Semua alur cerita dibangun secara tegak lurus dan tidak didapati tikungan tajam atau tanjakan yang mendebarkan di dalamnya.

Tentu dimaklumi, tambahnya, sebab, M Amir Jaya tidak berorientasi pada penemuan bentuk-bentuk penggarapan sastra yang baru. Ia seorang pendakwah yang senang memanfaatkan cerpennya untuk mengusung pesan-pesan moral.

Banyak tawaran keruhanian yang bisa kita jadikan renungan berharga di dalam Kumpulan Cerpen ini. Ada tema kemanusiaan, moral, cinta, maupun ketuhanan. Katakanlah misalnya, bagaimana agar kita tidak gampang berprasangka buruk, menilai orang lain sebagai koruptor di saat isi dompet kita sendiri busuk.
Tema kemanusiaan ini dapat ditemukan pada cerpen berjudul “Hidung” dan
“Mencari Sahabat.” Tentang korupsi juga dapat dibaca pada cerpen “Kades” dan “Pertarungan”. Potret kemasyarakatan dan politik dapat dibaca pada cerpen “Mata”, “Pertengkaran Dua Baliho”, atau “Satu Kepala, Satu Lembar Uang Plastik”.

Tema cinta dan keagamaan, ulas mantan Pamong Senior Pemkab Bulukumba ini, terdapat pada cerpen “Di antara Dua Pilihan”, “Terkapar”, “Saf”, dan “Kaki-kaki Telanjang.”

Di buku setebal 71 halaman dan diterbitkan oleh Arya Pustaka Makassar ini berisi 11 buah cerpen. Semuanya tergolong cerpen yang baru ditulis di tahun

  1. Sebuah capaian artistik yang luar biasa, terutama, jika dipotret dari sisi durasi pemanfaatan ruang kreativitas.

“Seperti yang saya sebut di awal tulisan, Amir Jaya mengarang cerita tanpa orientasi penemuan bentuk penggarapan baru. Ia tetap berpijak pada teknik plot yang patuh di area konvensional. Dinamika cerita terpelihara secara sistematis.

Anasir plot seperti: situasi sebagai latar kejadian (situation), pergerakan setiap peristiwa (generating circumtances), keadaan yang bergerak memuncak (rising action), peristiwa mencapai puncak (climax) dan pemecahan soal dari semua peristiwa cerita (denouement); tetap menjadi prabot penting membangun cerpen-cerpen tersebut,” ulasnya.

“Dari teknik penggarapan cerita, pengarang dapat diketahui memiliki pengalaman banyak di dunia sastra. Imaji pelukisan karakter tokoh, tercermin melalui struktur bahasa yang jelas. Sebagai contoh kekuatan imaji pengarang, saya kutipkan sepenggal cerita sebagai berikut:

“Bom meledak juga. Ketika saya lagi asyik menikmati secangkir kopi di kantin sekolah, Wati datang mendekat. Dia duduk di depan saya. Suasana kantin memang agak sepi karena siswa-siswi belum istirahat. Yang tampak hanya Ibu Lia, yang sibuk mengurusi barang-barang jualannya.”

Eksposisi di atas cukup rapi menggambarkan situasi (situation) di sebuah kantin sekolah. Pada konsep imaji pembaca, kantin itu sepi, tidak ada orang lain kecuali Anwar dengan Ibu Lia, penjaga kantin sekolah. Kemudian terjadi pergerakan peristiwa (generating circumtances), yaitu tokoh Wati mendekati Anwar. Maka, alur cerita mulai memuncak (rising action) ketika terjadi dialog seperti berikut:

“Anwar, saya ingin kejujurannya. Wati yang dipilih atau saya”, kata Anti dengan suara agak tertahan.

Perpaduan struktur bahasa naratif dan dialogis di atas, sudah cukup baik dan logis. Namun, di sini terjadi “kecelakaan imajinatif”. Daya bayang pengarang tercopot dari konteks peristiwa yang sedang terjadi. Mengapa demikian? Mari kita jejaki kembali ceritanya. Wati yang dilukiskan datang mendekati tokoh saya (Anwar) pada eksposisi di atas, namun pada mikroteks berikutnya justru tokoh Anti yang muncul dalam kalimat penjelasan, bukan Wati. Ini satu eksposisi yang cacat dan seharusnya hal itu tidak terjadi, terutama jika cerpen sudah menjadi sebuah buku,” bahas Mahrus Andis.

Secara keseluruhan, ulasnya lagi, kesebelas cerpen di buku ini telah membuat kaya khasanah imajinasi pembaca. Selain tematiknya multitafsir, cerpen-cerpen ini pun tak urung mengajak kita tersenyum geli dan, bahkan, bisa larut dalam sinisme sosialnya.

“Salah satu cerpen berjudul “Satu Kepala, Satu Lembar Uang Plastik”, membuat kita tersenyum lucu. Pengarang bercerita tentang seorang pengusaha sukses bernama lengkap Drs. Daeng Sibali Bin Dorra.

Pengusaha ini menjadi Calon Anggota Legislatif dan berusaha untuk menang walaupun dengan cara harus menyuap masyarakat. Ide menyuap calon pemilih menimbulkan pro-kontra di pihak pendukungnya. Sebagian Tim Sukses setuju dan sebagian lagi menolak karena dinilai perbuatan tersebut melanggar ajaran agama. (gus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *