Rencana pengukuhan Kerukunan Keluarga di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, memantik reaksi keras sejumlah pihak. Penyebabnya, karena kerukunan keluarga itu menempelkan kata Karaeng Tanahberu.
Klaim sepihak itulah yang menyulut masalah, karena banyak yang pernah menjadi Kepala Distrik Tanahberu merasa diabaikan. Baik yang memerintah dengan gelar Gallarang maupun yang bergelar Karaeng.
Berdasarkan undangan yang beredar, organisasi itu bernama Kerukunan Keluarga Besar dan Lembaga Adat Karaeng Sadjuang Karaeng Tanahberu. Dalam susunan acaranya, ada empat nama yang akan memberikan sambutan. Di urutan paling bawah tertera nama, PYM Andi Kumala Dg Sila Karaengta Lembang Parang Sultan Malikussaid II (Sombayya ri Gowa Ke-XXXVIII).
Di sisi lain, ada nama yang muncul di kerukunan keluarga itu, padahal leluhurnya nyaris tidak pernah terlibat dalam pemeritahan Karaeng Sadjuang. Kalau pun terlibat, sepertinya tidak berada dalam struktur pemerintahan.
Karena organisasi itu membawa nama Karaeng Sadjuang yang memerintah setahun lebih, nama-nama yang muncul dan diberi panggung untuk memberi sambutan di hajatan pengukuhan dan pelantikan itu, idealnya adalah para ahli waris pemangku jabatan di masa pemerintahan Karaeng Sadjuang. Bukan yang lain.
Catatan ini tak akan membahas bagaimana dan mengapa pemerintahan Karaeng Sadjuang harus berakhir setelah berjalan hanya setahun lebih. Biarlah orang lain yang lebih paham yang mengisahkannya.
Tulisan ini hanya mengulas tentang Abdul Patta Karaeng Lolo bin Karaeng Mauseng Daeng Pasele sebagai Karaeng Tanahberu yang memerintah sejak tanggal 17 September 1934 hingga tanggal 5 April 1962.
Kakaraengan di Tanahberu, Bontobahari, Bulukumba, berakhir seiring berubahnya sistem pemerintahan dari distrik menjadi kecamatan seperti sekarang ini. Dan Kepala Distrik terakhir yang diberi kepercayaan memangku amanah sebagai Karaeng Tanahberu adalah, Abdul Patta Karaeng Lolo bin Karaeng Mauseng Daeng Pasele.
Lalu siapa itu Abdul Patta Karaeng Lolo yang menggantikan Karaeng Sadjuang menjadi Karaeng Tanahberu? Pria yang memerintah Distrik Tanahberu selama 28 tahun lebih itu adalah, putra bungsu Karaeng Mauseng Daeng Pasele yang juga pernah menjadi Galarang Tanahberu, jauh sebelum Karaeng Sadjuang.
Ada beberapa kepala distrik yang pernah memerintah di Tanahberu, sebelum Karaeng Sadjuang menggantikan kepala distrik bernama Kinsang, seorang warga keturunan Tionghoa. Jejak keluarga Kinsang ini, masih bisa ditelusuri di Kota Bulukumba. Salah satunya, bermukim di sekitar Bundaran Pinisi.
Kinsang memerintah menggantikan Karaeng Andi Makkasolang Opu Lolo. Sebelumnya, ada juga kepala distrik bernama Gallarang Pagarra Daeng Mangemba.
Sebelumnya lagi, ada Karaeng Baso bergelar Gallarang. Pria ini adalah, kakak kandung Abdul Patta Karaeng Lolo. Karaeng Baso menjadi Gallarang menggantikan ayahandanya, Karaeng Mauseng Daeng Pasele.
Jadi, Abdul Patta Karaeng Lolo itu adalah putra bungsu Karaeng Mauseng Daeng Pasele dari istrinya bernama Puttiri Karaeng Kaca, yang merupakan anak Raja Bangkala ke – 13. Artinya, Abdul Patta Karaeng Lolo Karaeng Tanahberu itu masih cucu Karaeng Bangkala ke-13 dari garis keturunan ibunya.
Yang meragukan informasi ini, bisa melakukan klarifikasi kepada Ketua Kerukunan Keluarga Laiyya Teayya Ri Bangkala, Jeneponto, Karaeng Moncong.
Pusara Karaeng Mauseng Daeng Pasele dan istrinya Puttiri Karaeng Kaca bersama putra sulungnya, Karaeng Baso, bisa ditemukan di belakang Masjid Raya Bontobahari. Pusara itu, bersebelahan dengan makam Karaeng Andi Makkasolang Opu Lolo yang juga pernah menjadi Kepala Distrik Tanahberu.
Urutan sejarah singkat pemerintahan di Distrik Tanahberu ini mungkin bisa menjawab pertanyaan segelintir orang yang mempertanyakan asal-usul Abdul Patta Karaeng Lolo yang diberi amanah menjadi Kepala Distrik Tanahberu menggantikan Karaeng Sadjuang.
Itu pulalah salah satu alasan yang mendasari sehingga keturunan Keluarga Besar Abdul Patta Karaeng Lolo Karaeng Tanahberu bersama keturunan Karaeng Andi Makkasolang Opu Lolo dan keturunan Gallarang Pagarra Daeng Mangemba memprotes penggunaan nama Karaeng Tanahberu pada Kerukunan Keluarga Karaeng Sadjuang.
Jika ingin membentuk Kerukunan Keluarga Sadjuang silakan saja. Yang penting, tidak melengketkan nama Karaeng Tanaberu di dalamnya.
Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika setiap keturunan mantan Kepala Distrik Tanahberu membentuk kerukunan keluarga atau lembaga adat dengan menempelkan nama Karaeng Tanahberu.
Dalam konteks itulah, perlunya kehati-hatian mereka yang mengeluarkan rekomendasi dan berniat mengukuhkan kerukunan keluarga yang mengatasnamakan Karaeng Tanahberu. Perlu menelisik lebih jauh kebenaran dokumen yang diajukan oleh kelompok tertentu. Termasuk yang memberi rekomendasi.
Jika pelantikan dan pengukuhan kerukunan keluarga yang menggunakan nama Karaeng Tanahberu tetap dipaksakan dilaksanakan, maka keturunan tiga mantan Kepala Distrik Tanahberu sedang mempertimbangkan opsi menggulirkan mosi tidak percaya kepada pemimpin institusi yang mengeluarkan rekomendasi dan yang mengukuhkan kerukunan keluarga tersebut.
Sebagai catatan tambahan, opsi mosi tidak percaya itu sudah mendapat lampu hijau dari sejumlah ahli waris pemangku Kakaraengan terakhir dan lembaga adat di Sulawesi Selatan.
Pelajari dan pahami sejarah sebagai salah satu dari beragam kekayaan negeri ini. Gelar bangsawan para leluhur kita itu, dilekatkan oleh masyarakat, salah satu alasannya karena yang menyandang gelar itu memiliki sifat mulia, sehingga layak dimuliakan.
Karaeng dan andi atau pun gelar kebangsawanan lainnya yang melekat di nama anak keturunan bangsawan itu diberikan, memang karena berdarah biru bukan karena lembaran biru.
Di akhir catatan ini saya ingin mengutip pesan leluhur saya dalam bahasa aslinya, Makassar Konjo. “Manna tau samara ja, punna assipa karaengi, paka tau i. Tapi manna to i, karaeng punna assipa ata i, sala i.”
*) Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi MAKASSARCHANNEL.COM