Digitalisasi vs Politisasi

“Damage has been done”. (kerusakan telah terjadi). Itulah salah satu kalimat tulisan Bang Ilham Bintang yang dimuat pada Opini Pelita, menyongsong Hari Pers Nasional dan Menyoal Konferensi PWI Sulsel yang dimuat Ahad (31/1/2021).

Saya tidak menyinggung larik lagu Iwan Falls yang juga dikutip Bang Ilham Bintang, tetapi lebih tertarik dengan menganalisis kalimat dalam bahasa Inggris yang mengawali tulisan ini dan kaitannya dengan judul lagu Bongkar Pilihan kalimat yang rasa-rasanya sangat tepat untuk memotret kondisi PWI Sulawesi Selatan baik sebelum maupun pasca-Konferensi yang berakhir dengan “selamat” dan secara aklamasi memilih petahana Agus Salim Alwi Hamu menakhodai PWI Sulawesi Selatan lima tahun ke depan.

Selain berkaitan dengan kalimat dalam bahasa Inggris dan “Bongkar” tersebut, Bang Ilham Bintang mengakui bahwa “selama memimpin Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat, PWI Sulsel memang paling sering bergejolak. Jejak digital PWI Sulsel paling sering memecat anggotanya, bahkan anggota pengurusnya sendiri. Pernah ada 27 anggota diusulkan dipecat, tetapi saya tolak karena syaratnya tidak terpenuhi. Yang paling parah, ada anggotanya yang diadukan ke polisi dan sempat beberapa bulan di penjara”.

“PWI Sulsel merupakan Cabang PWI penting. Reputasinya di masa lalu membanggakan anak cucu. Memberi kontribusi besar bagi perkembangan demokrasi di Sulsel. Penghargaan masyarakat kepada wartawan setara penghormatan kepada perahu Phinisi dan klub sepakbola PSM,” tulis Bang Ilham .

Yang tidak kalah menarik pula disimak adalah era digitalisasi yang juga mengarus pada organisasi PWI. Media digital, membuat semua yang tersembunyi akan terungkap. Tidak ada lagi yang dapat disembunyikan. Dan itu, publik akan tahu tanpa harus meninggalkan tempat tidurnya sekalipun.

Kerusakan Itu

“Damage has been done”, kerusakan telah terjadi. Kalimat itu merujuk pada sejumlah pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada saat Konferensi Cabang PWI Sulsel. Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Zulkifli Gani Ottoh mengakui secara jujur pelanggaran demi pelanggaran tersebut. Dia menyebut setidak-tidaknya 4-5 pelanggaran organisasi terjadi di tubuh PWI Sulawesi Selatan.
Ketika memberi sambutan pada pembukaan Konfercab PWI Sulsel, Kamis (29/1/2021) secara virtual melalui zoom, mantan Ketua PWI Sulsel dua periode itu mengatakan, hanya PWI Perwakilan Kabupaten Wajo yang tidak termasuk dalam kategori pelanggaran yang dimaksudkan itu.

Pelanggaran tersebut antara lain, ada pengurus yang tidak memiliki kartu anggota, ada pegawai negeri sipil (PNS), dan malah ada mantan narapidana (napi). Soal PNS ini tidak diatur dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT), kecuali mantan napi yang diatur dalam pasal 7 (2e) Peraturan Dasar PWI yang berbunyi : Syarat-syarat menjadi anggota biasa adalah :Tidak pernah dihukum oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan martabat dan profesi kewartawanan”.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh PWI Sulsel tersebut merupakan kegagalan dari Bidang Organisasi PWI Pusat dalam mengedukasi PWI Sulsel agar taat asas. Banyaknya pelanggaran yang terjadi tersebut sudah terjebak pada terjadinya proses pembiaran terhadap organisasi agar melanggar PD dan PRT-nya secara masif. Pelanggaran tersebut juga mencerminkan tidak seriusnya sejumlah oknum pengurus melaksanakan tugas organisasi. Praktik-praktik berorganisasi sama sekali tidak merujuk pada kewenangan masing-masing, yakni antara kewenangan PWI Pusat dan PWI Cabang.

Akibatnya, terjadi kekacauan organisasi yang menjurus kepada muncul “damage” tersebut. Saling pecat di internal di tubuh PWI Sulsel menggambarkan terjadinya saling sikut dan saling sikat di tubuh organisasi profesi tertua ini, “Jangan lakukan pelanggaran, Main cantik saja sudah bagus,” kata Zulkifli ketika memberi sambutannya.

Saya kira, harapan positif, tetapi ini sudah ketinggalan dan sama sekali tidak mencerminkan sikap dan sifat preventif yang harus dilakukan oleh seorang organisator. Sejatinya, ketika terjadi pelanggaran pertama, sudah harus ada upaya untuk menghentikannya. Setidak-tidaknya harus segera dikembalikan agar organisasi itu berjalan “on the track”. Tetapi ini terjadi sampai 4-5 kali. Apa kata dunia? (1)

Terus terang, terjadinya segmentasi keanggotaan di PWI Sulsel bermula ketika Zulkifli Gani Ottoh memasuki periode kedua (2010-2015). Mereka yang berada di kubu yang berseberangan dengan dirinya menjadi orang yang “tidak disukai” di PWI. Ketika dalam sambutan pembukaan Konfercab PWI Sulsel Jumat silam itu, Zugito mengatakan, “yang sudah-sudahlah. Rangkul semua teman. Beri kesempatan anggota wartawan muda agar bisa bersatu”.

Saya salut karena setelah membuat PWI Sulsel ini terjebak dalam segmentasi keanggotaan yang “like and dislike” dan “berantakan” seperti ini, Zugito akhirnya sadar. Sayangnya, ungkapan ini terjadi justru setelah “damage has been done”. Dan, rasanya akan terus berlangsung hingga usai kepemimpinan rezim ini.

Bung Ilham Bintang mencontohkan, datang pula pengaduan dari Soppeng. Ketua PWI Kabupaten Soppeng Rachmat memberitahukan, dia digeser (diksi bahasa digital: “diremoved”) sebagai Ketua PWI Soppeng oleh Ketua PWI Provinsi Sulsel. Padahal Rachmat dipilih dalam suatu pemilihan yang berlansung demokratis di Soppeng pada tahun 2017.

Pengangkatan Rahmat sebagai ketua PWI Soppeng disahkan oleh SK Pengurus PWI Pusat. Bagaimana bisa sebuah SK PWI Pusat diabaikan dan dikalahkan begitu saja oleh keputusan PWI Sulsel? Apa kata dunia? (2).

PWI Sulsel mengganti Rachmat dengan ketua baru, Agus Wittiri, tanpa menerima SK pemberhentian. Yang menggantikannya dikenal sebagai pengurus PAN Soppeng. Belakangan setelah diprotes, PWI Sulsel meralat keputusannya itu. Tanpa memberhentikan Agus Wiitri, SK PWI Sulsel kemudian mengangkat seorang pengurus PWI di Sulsel menjadi koordinator di Soppeng. “Sekarang, di PWI Soppeng ada tiga ketuanya Pak,“ sindir Rachmat. Apa kata dunia? (3)

Begitulah karut marut organisasi di PWI Sulsel saat ini. Pada saat acara pembukaan Konfercab Jumat itu, kok tidak ada protokol acara. Yang jadi protokol justru moderator yang memandu acara. Sambutan atau laporan Ketua PWI Sulsel tidak ada. Setidak-tidaknya dia harus bersuara untuk menyapa peserta Konfercab sebagai penanggung jawab pemilik hajat lima tahunan itu. Sambutan malah tunggal saja dibawakan oleh Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat.

Lalu pada hari kedua Konfercab 31 Januari 2021 yang saya tidak hadiri karena tidak ingin menjadi bagian dari “damage” ini. Saya kembali mengikuti secara zoom saja untuk mengetahui seberapa konyolnya dagelan demokrasi ini akan diputar lagi. Inilah pertama kali selama 38 tahun menjadi anggota PWI saya absen menghadiri yang namanya Konfercab. Saya hanya takut menjadi bagian dari sejarah kerusakan ini sendiri yang kelak boleh saja saya yang tulis sendiri. Bahkan mungkin.

Begitu Agusalim Alwi Hamu terpilih secara aklamasi karena calon lain, Nurhayana Kamar memilih meninggalkan Konfrecab, pimpinan sidang ditangani Ketua SC Faisal Syam. Saya tidak tahu apakah SC harus memimpin sidang dan tidak ada lagi orang lain yang mampu melakukan pekerjaan ini? Saya tidak tahu, tetapi daripada repot-repot rambu-rambu dan kelaziman berorganisasi dan bersidang sah-sah saja diabaikan dan dilanggar. Padahal, SC itu tidak terlibat lagi dalam memimpin sidang pascapemilihan, sebab setelah SC menyampaikan tata tertib Konfercab, urusannya sudah selesai. Dari awal harus dipilih oleh peserta Konfercab. Namun harap dimaklum, peserta Konfercab yang sudah tidak lagi heterogen, semuanya bisa berjalan dianggap normal-normal saja.

Ketua PWI Pusat Atal S,Depari tampil memberi sambutan. Intinya, Atal bisa tidur nyenyak karena proses berdemokrasi berjalan lancar. Saya tidak tahu parameter yang digunakan. Apakah ketika ada yang “walk out” karena menganggap Konfercab tidak taat asas itu juga termasuk indikator berdemokrasi yang baik. Apakah pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan PWI Sulsel seperti diungkapkan Zugito itu merupakan bagian demokrasi yang baik. Jika ya, demokrasi memang bagaikan dua sisi mata uang. Tergantung siapa yang menunggangi demokrasi dan siapa yang ditunggangi.

Giliran berikutnya, Ketua PWI Sulsel terpilih. Saya sudah siap merekam apa yang akan disampaikan petahana ini. Alih-alih memberikan sambutan, Agus justru mengundang Zugito untuk tampil ke depan di tengah dia kebingungan mencari kata dan kalimat yang hendak diungkapkan merayakan kemenangan tanpa tandingnya itu.

Ya, begitulah potret suasana Konfercab yang saya ikuti melalui pemanfaatan teknologi, yang tentu saja tidak dapat dimanipulasi terhadap apa yang terjadi sesuai yang kasatmata. Tentu saja yang tidak kasatmata adalah itu tadi, bagaimana digitalisasi dipolitisasi.

Setiap periode suksesi pemilihan Ketua PWI Sulsel memiliki dan mewariskan trik tersendiri untuk melanggengkan kekuasaan. Saya mengikuti dengan cermat tiga kali pemilihan (termasuk yang sekarang meskipun melalui zoom). Yang paling parah justru yang terakhir. Pasalnya, pemilihan ini – sebagaimana diakui Zugito terjadinya 4-6 pelanggaran — berlumuran dengan cacat dan luka organisasi yang menganga. Alamaak… (*)

M.Dahlan Abubakar
Tokoh Pers Sulsel vers Dewan Pers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *