Bagi Wartawan, Bahasa Itu Senjata, Kata adalah Peluru

SENIN (1/2/2021) sejumlah media daring di Makassar memuat berita yang sedikit “menghebohkan”. Judulnya, Andi Pasamangi Wawo: Konferprov PWI Sulsel Selesai, Ocehan Dahlan yang Benar Terima, yang Salah Abaikan”. Berita itu dimuat oleh menitiindonesia.com dan ditulis oleh Andi Ade Zakaria.

Saya membaca tulisan itu dari awal hingga akhir. Saya tidak menemukan ada kata “Ocehan” di dalam tubuh berita tersebut. Saya bertanya dalam hati, diksi yang bermakna “perkataan yang bukan-bukan” itu lantas ucapan siapa?

Sebagai seorang wartawan dan pengajar jurnalistik dan menulis disertasi mengenai bahasa jurnalistik dari catatan wacana kritis, tidak terlalu sulit menerka siapa “tersangka” yang menjadi “penyelundup” yang menyusupkan kata tersebut pada judul berita..

Memilih judul berita yang “seksi” memang sebuah keniscayaan dalam membuat berita. Mendiang L.E.Manuhua, Pemimpin Redaksi Harian “Pedoman Rakyat”, Dewan Penasihat PWI Pusat, dan penerima Bintang Mahaputra Utama Republik Indonesia mengatakan, membuat judul yang menarik itu jauh lebih sulit dibandingkan menulis batang tubuh dan isi berita itu sendiri.

Mengapa demikian? Ini disebabkan judul berita merupakan iklan dari berita tersebut. Jika berita bagus, judulnya tidak menarik, “kasihan” isi beritanya. Jika judul bagus, tetapi isinya “kaleng-kaleng” (pinjam istilah ustaz Dasaad Latif), itu hanya menimbulkan kejengkelan pembaca karena mereka merasa tertipu oleh judul. Tidak heran sumpah serapah muncul dari mulut mereka jika menemukan berita seperti ini.

Aturan sebuah judul berita harus ada dalam teras berita atau di dalam tubuh berita. Lalu bagaimana dengan berita yang Anakda saya Andi Ade Zakaria tulis? Nah, itu termasuk opini sang penulis sendiri karena narasumber (Pak Andi Pasamangi Wawo) tidak ditemukan dalam keterangannya menyebut diksi “ocehan” tersebut. Dan, juga seperti pengakuannya kepada saya.

Pedoman Etis

Setelah membaca berita tersebut dan menyimak serta mencari diksi “ocehan” yang termuat di judul berita, saya pun berniat menelepon Pak Andi Pasamangi Wawo. Niat saya ini terhenti karena tiba-tiba saja anak saya Hery menjemput untuk hadir bersama keluarga dalam suatu acara silaturahim sambil makan malam di salah satu rumah makan di Jl H.Bau Makassar.

Sekembali dari rumah makan sekitar pukul 21.30, gawai saya berdering. Ternyata teman-teman wartawan mengontak saya. Mereka bertanya bagaimana situasi dan paling menarik juga menyoal berita yang berkaitan dengan “ocehan” saya itu. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa sebagai penulis saya besar dari ‘mumpuni’ menulis berkaitan dengan polemik. Tetapi saya katakan, saya tidak ingin berpolemik berkaitan “ocehan” saya. Kepada teman-teman di Grup WA Pedoman Rakyat kisah “ocehan” saya itu tak perlu didiskusikan dan diperpanjang.

Di tengah kami berdiskusi, telepon dari Andi Pasamangi Wawo berdering. Saya memberitahu teman-teman dan meminta izin menerima telepon tersebut sambil menyebut nama peneleponnya.
Seperti yang sudah saya tebak, Andi Pasamangi Wawo langsung mengklarifikasi diksi “ocehan” yang saya maksudkan.

“Saya tidak pernah mengeluarkan kata itu. Saya juga masih punya nurani sopan santun dalam berbahasa,” katanya sebelum saya menyinggung kalimat tersebut.

Saya pun mengatakan, saya juga meneliti kata demi kata, kalimat per kalimat, dan alinea demi alinea, tidak menemukan kata itu di dalam batang tubuh berita mulai dari awal hingga akhir. Maka, benar juga ramalan saya bahwa yang “kreatif” adalah wartawannya.

“Saya kan tidak tahu jika saya ini akan dikontrontasikan dengan Pak Dahlan,” kata Andi Pasamangi lagi.

Saya pun menjelaskan, memang bagi pembaca lain berpotensi akan menganggap seperti itu, tetapi bagi saya tidak akan pernah. Saya juga menyampaikan bahwa bagi saya tidak ada masalah dengan berita tersebut. Hanya yang perlu adalah bagaimana setiap wartawan harus pandai-pandai memilih diksi untuk membangun sebuah judul berita agar tidak berpotensi menimbulkan delik.

Maaf untuk Ananda Andi Ade Zakaria, saya tidak bermaksud memberi Anda kuliah gratis mengenai bahasa jurnalistik. Bahasa yang menjadi mata kuliah sepesialisasi saya di Unhas dan Universitas Muslim Indonesia puluhan tahun dan juga karena meneliti penggunaan ragam bahasa ini, saya meraih gelar akademik tertinggi di almamater saya.

Bagi seorang wartawan, bahasa adalah senjata dan kata merupakan pelurunya. Anda bisa bayangkan, jika salah menggunakan senjata dan peluru bisa “membunuh” seseorang, atau paling tidak mencederainya. Bahasa jurnalistik merupakan pedoman etis bagi seorang wartawan dalam penyajian dan penulisan semua jenis dan bentuk karya jurnalistik, seperti tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel (yang ditulis oleh wartawan), berita langsung (straight news), “features” (karangan khas).

Etika bahasa jurnalistik termasuk ke dalam etika sosial. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata krama dan saling menghormati. Yaitu, bagaimana saling berinteraksi yang menyangkut manusia dengan manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama.

Buat Ananda Andi Ade Zakaria, ketika akan mengikuti uji kompetensi wartawan, jelas akan berhadapan dengan aspek kesadaran (awareness) yang menempatkan “etika dan hukum” sebagai bagian paling atas dari piramida kompetensi. Kesadaran ini merupakan salah satu dari tiga aspek penting yang dituntut terhadap seorang wartawan, di samping aspek pengetahuan dan keterampilan.

Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam profesi kewartawanan, sehingga setiap derap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis (juga dalam memilih diksi yang tepat) atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan.

Dampak terhadap seorang wartawan yang melalaikan etika dan hukum ini bisa mengganggu kenyamanan dalam melaksanakan profesi. Misalnya saja, terhadap penggunaan opini seperti pada penulisan judul berita Ananda Andi Ade Zakaria yang menambahkan kata “ocehan:” pada judul berita yang ternyata tidak ada dalam batang tubuh berita dan tidak pernah diungkapkan oleh narasumber. Akibatnya, boleh saja orang yang tersentil dengan judul berita dengan kata “ocehan” yang merupakan opini penulis berita merasa tidak nyaman.dan menganggap berita tersebut telah membuatnya “tidak nyaman”.

Ketika munculnya rasa “tidak nyaman” dari seseorang atas pemuatan suatu berita inilah yang kerap menggiring seorang wartawan dilapor ke polisi dan ditimpakan dengan pasal KUH Pidana. Dan, polisi akan menerimanya karena deliknya masuk kategori pencemaran nama baik. Apalagi sang wartawan sendiri tidak berusaha meralat beritanya sesuai tuntutan Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 yang berbunyi “ Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini..dstnya”. Kemudian pasal 10 berbunyi “Wartawan dengan kesadaran sendiri berupaya secepatnya memperbaiki, meralat, atau memberi hak jawab setiap pemberitaan yang tidak akurat dan disertai permintaan maaf”.

Jadi, buat Ananda . Andi Ade Zakaria, hati-hati memilih kata (diksi) sebab dia akan menjadi “peluru” bagi seorang wartawan dalam profesinya. Ketika “peluru” itu menimpa seseorang, Anda dapat bayangkan seperti apa reaksinya. Ya, macam-macam. Orang seperti saya yang selalu menempatkan diri sebagai “pandito” (ahli dalam ilmu) jurnalistik, tentu akan sangat paham dan memaafkan kesalahan tersebut sebagai bagian dari proses belajar. Tetapi Anda bisa bayangkan, kalau orang lain yang tidak seperti saya dan merasa “tidak nyaman”, jelas akan merepotkan dan membuat Anda sebagai wartawan tidak nyaman. Sebab, “peluru” yang Anda tembakkan sudah mencederai.(*)

Dr M.Dahlan Abubakar
(Pengajar Jurnalistik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *