Asmaraku

CINTAKU. Luasnya seperti jala. Tingginya seperti menara. Cintaku kini merajalela. Asmaraku kini sedang membara. Tawa meledak dengan geli. Tangis menderu menjerit. Perut bumi terus kugali. Walau sampai akhir hayat. Karena dorongan naluri. Kubujuk, kurayu si dia. Sebab kemauan nurani. Hingga kucapai hidup bahagia.

Demikian cuplikan puisi karya Andi Ruhban dari bukunya Setadah Puisi Embusan La Ruhe Dari Tampangeng yang didiskusikan di Kafe Baca Jl Adhyaksa No 2 Makassar, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023.

Bedah buku yang dimoderatori founder Komunitas Anak Pelangi Rahman Rumaday ini menghadirkan dua pembicara yakni; Rusdin Tompo dan Asia Ramli Prapanca.

Hadir pula sejumlah pegiat literasi seperti kritikus sastra Andi Mahrus, Prof Hamdar Arrayyah, sutradara teater Yudhistira Sukatanya, penyair Muhammad Amir Jaya, akademisi Fadli Andi Nasif, cerpenis Idwar Anwar, serta Andi Marlia yang sekaligus tampil membaca puisi di sela acara.

Pembicara pertama Rusdin Tompo memuji kemampuan Andi Ruhban mendokumentasikan catatannya dengan mengadopsi beberapa nama acara Radio Venus.

“Proses kepenulisannya dibawa ke situasi sejarah saat itu,” kata Rusdin Tompo.

Kritikus Sastra Andi Mahrus mengatakan, buku berisi 101 puisi itu mengajak kita bersikap arif dalam berliterasi. Puisi di buku ini menjadi totalitas ekspresi yang intens mengusung ideologi Andi Ruhban melalui kebesaran dunia kata-kata.

Penyair yang menyebut dirinya La Ruhe itu menurut Andi Mahrus seakan ingin menghibur diri dan pembaca melalui atraksi akrobatik berliterasi.

Andi Mahrus menyitir kata penyair Husni Djamaluddin yang mengatakan bahwa semua orang bisa berpuisi. Namun, tidak semua orang mampu menuliskan puisinya dengan baik.

Pembicara kedua Asia Ramli Prapanca yang akrab disapa Ram Prapanca mengatakan, membaca buku setadah puisi La Ruhe ini ditemukan bahwa penulis ingin membangun relasi kemanusiaan. Relasi antara manusia dan diri sendiri, relasi dengan sesama manusia atau komunitas, relasi dengan alam, dan relasi manusia dengan Tuhan.

Jika seseorang terlalu menitikberatkan fungsi perasaan, ia akan terjerumus ke dalam kehidupan serba spiritual. Jika seseorang terlalu menitikberatkan fungsi akalnya ia akan terjerumus ke dalam kehidupan serba rasional. Dan jika seseorang terlalu menitikberatkan fungsi jasmaninya, ia akan terjerus ke dalam kehidupan yang serba material dan positivistik.

Beberapa puisi dalam buku ini membawa pembaca ke masa-masa sekolah dasar dan lanjutan ketika diajarkan membuat puisi akrostik. Puisi yang setiap barisnya disusun berdasarkan awalan huruf dari sebuah kata seperti pada puisi berjudul Citra di halaman 137.

Sutradara teater, Yudhistira Sukatanya, mengatakan, buku puisi merangkum 34 judul puisi era tahun 1980-an dan 68 puisi era tahun 1990-an, sehingga pembaca dapat menelusuri gambaran perambahan jalan pencapaian estetika Andi Ruhban “La Ruhe”.

Periode tahun 1980-an dalam lintasan sejarah sastra Indonesia mencatat adanya dinamika baru dalam penulisan puisi. Terjadi pergeseran wawasan estetik, khususnya pada kata yang mulai menekankan pada pemikiran dan cara penyajian karya sastra. Masa ini melahirkan konsepsi improvisasi dan eksprimentasi dalam penggarapan karya sastra baru.

Sastrawan mengikuti perkembangan zaan yang menuntut adanya keberanian dan kreativitas berkarya. Semagat ini kerap merekam kehidupan masyarakat yang mulai menampakkan keragaman masalah sosial dan keberagaman pemikiran dan penghayatan atas modernitas.

Kubiarkan desir angin. Kubiarkan gerimis hujan. Kubiarkan deru guntur. Kubiarkan gema petir. Demi untuk memilikimu. Demi untuk membelaimu. Demi untuk mendekapmu. Demi untuk mencangkummu. ***

*)Muhammad Rusdy Embas, Pemimpin Redaksi MAKASSARCHANNEL.COM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *